A.
PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan pemikiran
Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran kalam, yakni pemikiran kalam
yang bercorak rasional serta pemikiran kalam yang bercorak tradisional.
Pemikiran kalam yang bercorak rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan
kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna
harfiah, dan banyak memakai arti majazi dalam memberikan
interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional
tentang ajaran Islam serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri
manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Mu’tazilah dan Maturidiyyah
Samarkand.[1]
Sebaliknya,
pemikiran kalam yang bercorak tradisional adalah pemikiran kalam yang tidak
memberikan kebebasan berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil
bagi akal, kekuasaan kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta
terikat pada makna harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Pemikiran kalam ini akan melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam
serta akan menumbuhsuburkan sikap hidup fatalistik dalam diri
manusia. Paham ini terdapat dalam aliran Asy’ariyyah dan Maturidiyyah
Bukhara.[2]
Perkembangan
ilmu kalam dalam lintasan sejarah Islam, tampaknya tidak bisa terlepas dari
peranan kelompok Asy’ariyah. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan Asy’ariyah
dalam membendung arus paham Muktazilah sejak awal kemunculannya hingga pada
masa-masa berikutnya. Pergolakan antara dua kelompok tersebut terus terjadi
baik dalam lingkup kecil maupun besar.
AliranAsy’ariyahinimunculsebagaireaksiterhadapaliran-aliran
yang munculsebelumnya.Penamaannyadinisbahkankepada Abu Hasan Ali al-Asy’ari
yang semulaadalahseorangpengikutMu’tazilah.Aliraniniberusahamenghidupkankembalipemahamankeagamaankepada
al-Qur’an dan al-Haditssebagaimana yang
dipahamidandipraktekkanolehgenerasisalaftetapidenganmempergunakanargumentasibercorakkalamiyah.
B.
SEJARAH
MUNCULNYA ALIRAN AL-ASY’ARIYYAH
Kata Al-Asy’ariyah diambil
dari nama pendirinya yaitu Al-Asy’ary adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin
Abi Musa Al-asy’ari.[3]menurut
beberapa riwayat, Al-Asy’ary lahir di Bashrah pada tahun 260 H/ 875 M. Ketika
berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah kekota Baghdad dan wafat di sana pada
tahun 324 H/ 935 M.
Menurut Ibn Asakir, ayah Al-Asy’ary adalah seorang yang berpaham ahlussunnah
dan ahli hadits. Ia wafat ketika Al-Asy’ary masih kecil sebelum wafat, ia
berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakariya bin Yahya As-Saji
agar mendidik Al-Asy’ary.Ibu Al-Asy’ary, sepeninggal ayahnya, menikah lagi
dengan seorang tokoh Muktazilah yang bernama Abu Ali Al-Jubba’i (wafat 303 H/
915 M.) Ayah kandung Abu Hasyim
Al-Jubba’i (wafat 321 H/ 932 M). Berkat didikan ayah tirinya itu, Al-Asy’ari
kemudian menjadi tokoh Muktazilah. Ia sering mengantikan Al-Jubba’i dalam
perdebatan menentang lawan-lawan Muktazilah.. Selain itu, banyak menulis buku
yang membela alirannya.[4]
Ada beberapa kemungkinan alasan yang
menyebabkan al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab
timbulnya aliran al-Asy’ariah, Al-Asy’ari sungguhpun telah puluhan tahun
menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang
bisa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn Asakir, ialah bahwa pada suatu
malam al-Asy’ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW, mengatakan
kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.[5]
Cerita yang paling umum disebut
sebagai penyebab keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah
perdebatan antara al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk
anak kecil di akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah
di bagian tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai
tanda ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau
anak itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau
memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang
mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika
terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri, Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari
bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa
depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya
Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah
al-Jubba’iy terpaksa diam.[6]
Menurut suatu riwayat, ketika ia
mencapai usia 40 tahun, ia mengangkat diri dari orang banyak di rumahnya selama
15 hari, dimana kemudian ia pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di
depan orang banyak, bahwa ia mula-mula memeluk paham aliran Mu’tazilah, antara
lain: Al-Qur’an itu makhluk, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala,
manusia sendiri yang menciptakan pekerjaan-pekerjaan dan keburukan. Kemudian ia
mengatakan sebagai berikut : “Saya tidak lagi mengikuti paham-paham tersebut
dan saya harus menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahannya”.[7]
Pada masa pemerintahan Khalifah
al-Makmun[8]serangan
Mu’tazilah terhadap para fuqaha dan muhaddtisin semakin gencar.
Tak seorang pun para fiqh yang populer dan pakar hadis yang masyhur
luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran, disertai dengan
penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-Mihnah
(inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu’tazilah, dan
berkembang menjadi permusuhan. Masyarakat tidak senang dengan hasutan-hasutan
mereka untuk melakukan inkuisisi (mihnah) terhadap setiap imam dan ahli
hadis yang bertakwa.[9]
Politik kekerasan yang ditempuh oleh
Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun
meninggal tahun 833 M, bahkan akhirnya paham Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
Negara dibatalkan oleh Khalifah Al-Mutawakkil pada tahun 856 M. Sejak itu, kaum
Mu’tazilah kembali pada posisinya semula, menjadi lemah, bahkan menghadapi
lawan-lawan yang tiada sedikit dari Islam. Tentu saja lawan yang paling keras
dihadapinya ialah golongan Hambaliy, pengikut dari imam yang pernah menjadi
korban mihnah di zaman al-Ma’mun. Perlawanan dari golongan
ini akhirnya mengambil bentuk aliran teologi baru yang bertumpu secara tekstual
pada sunnah (tradisi) yang bersumber dari Nabi dan sahabat-sahabatnya. Aliran
ini kemudian dikenal dengan aliran tradisional dengan sebutan Ahl
al-Sunnah,[10]atau
Asy’ariyah.[11]
Sekarang timbul persoalan, apa
sesungguhya yang menyebabkan al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah? Rasanya
tidaklah mungkin al-Asy’ari yang pernah menganut Mu’tazilah puluhan tahun dan
menjadi juru debatnya, tiba-tiba meninggalkan aliran itu hanya karena tidak
puasnya menerima jawaban al-Jubba’iy. Patut kiranya dipertimbangkan jika dalam
hal ini Harun Nasution menunjukkan adanya kemungkinan baru, bahwa al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah karena ia melihat bahwa aliran ini tidak dapat diterima
oleh umumnya umat Islam yang masih sederhana cara berpikirnya. Apalagi ketika
itu Mu’tazilah telah berada kembali pada posisi lemah, sebaliknya Ibn Hanbal
dan para pengikutnya dari kalangan muhaddisin semakin kuat di bawah
lindungan penguasa baru Abbasiyah. Khalifah al-Mutawakkil. Dengan kata lain,
mungkin saja al-Asy’ari melihat betapa bahayanya jika umat Islam
dibiarkan hidup tanpa pegangan teologi formal sebagai pengganti
teologi Mu’tazilah yang telah ditinggalkan itu.[12]
Kemungkinan lain juga mungkin
disebabkan seperti pendapat bahwa sebagai seorang muslim yang gairah akan
keutuhan umat muslimin, ia sangat mengkhawatirkan, kalau al-Qur’an dan
hadis-hadis Nabi menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang menurut
pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal
pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga menjadi korban sikap ahli hadis anthropomorphist
(al-hasywiah-the gross anthropomorphist of some of the traditionalist)
yang hanya memegangi lahir (bunyi) nas-nas agama dengan meninggalkan jiwanya
yang hamper menyeret Islam ke lembah kebekuan yang tidak dapat dibenarkan.[13]
Secara faktual hal ini juga
disebabkan adanya inkuisisi pada masa pemerintahan al-Ma’mun yang memicu
kebencian sebagian besar umat Islam kala itu terhadap orang-orang
Mu’tazilah.Adanya al-mihnah yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap
kelompok lain yang tak sepaham dengannya, ternyata menimbulkan dampak yang
kurang menguntungkan bagi perkembangan aliran Mu’tazilah selanjutnya. Mereka
mendapat tantangan keras dari umat Islam lain.
Setelah adanya peristiwa ini kaum
Mu’tazilah tidak lagi mempunyai peranan politik yang berarti, dan menyebabkan
timbulnya aliran oposisi yang kuat dan siap sedia untuk menciptakan alasan guna
memojokkan kaum Mu’tazilah. Perlawanan tersebut kemudian mengambil bentuk
aliran teologi baru yang bercorak tradisional yang dimajukan oleh Abu al-Hasan
al-Asy’ari (W.935 M).[14]
Dia menghabiskan waktunya untuk
berdebat melawan teori-teori Mu’tazilah, mempertahankan keyakinan barunya, dan
menggunakan senjata yang sama dengan Mu’tazilah, yaitu pembuktian melalui akal,
yang sangat tidak disukai oleh mazhab Hanbali. Pada hakikatnya al-Asy’ari
mengambil jalan tengah di antara dua titik ekstrem yang sangat mengandalkan
akal, seperti para pengikut Ibn Hanbal.[15]
Meskipun demikian al-Asy’ari tetap
mengaku sebagai pengikut Hanbali. Dalam tulisannya, dia berkata, “Ucapan kami
yang terucapkan dan agama yang kami anut berpegang teguh pada Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya, riwayat sahabat, tabi’in, dan para imam hadis. Kami sangat
memegang teguh hal-hal tersebut, serta apa yang disampaikan oleh Ibn Hanbal
(semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, meninggikan
kedudukannya). Orang-orang yang menentang pendapatnya menjauh, karena itu
adalah imam yang memiliki kelebihan, sempurna, dan diberi kebenaran oleh Allah
swt, ketika muncul kesesatan.”[16]
C.
TOKOH-TOKOH
AL-ASY’ARIYYAH
1.
Riwayat Hidup
Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariyyah
Untuk
lebih mengenal tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh dalam teologi Asy’ariyah,
berikut akan dinukilkan riwayat hidup mereka.
a.
Al-Qadhi Abu
Bakr al-Baqillani
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Thayyib bin Muhammad bin Ja'far
bin al-Qasim, yang lebih dikenal dengan al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, di
samping sebagai mutakkalim, beliau juga ahli ushul fikih, lahir di Bashrah dan
menetap di Baghdad, tentang tahun kelahirannya tidak ada sumber yang pasti menyebutnya.[17]Al-Baqillani
berguru dari sejumlah ulama di berbagai disiplin ilmu, antara lain: Abu
Abdullah bin Muhammad bin Ya'kub bin Mujahid al-Thai al-Maliki (sahabat dan
murid al-Asy’ari), Abu Bakr Ahmad bin Ja'far bin Malik al-Qathi'i, Abu Bakr
Muhammad bin Abdullah al-Abhari" seorang ahli faqih bermazhab Maliki.[18]
Adapun karya beliau, Ibn Katsir menyebutkan, bahwa beliau tidak
tidur setiap malam, kecuali setelah menulis 20 lembar,[19]
dan tercatat hasil karya beliau antara lain; kitab al-Tabshirah, Daqaiq
al-Haqaiq, al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh, Syarh al-Ibanah, dan lain-lain.
Al-Qadhi 'Ayyadh menyebutkan bahwa karya al-Baqillani ada 99 kitab dalam
masalah teologi, ushul fikih, dan I'jaz al-Qur'an, tapi yang ada sampai saat
ini hanya sebagian kecil. Al-Baqillani wafat pada tahun 403 H di Baqdhad dan
dimakamkan di samping makam Ahmad bin Hambal di perkuburan Bab al-Harb.
b.
Al-Iman
Al-Haramaen Al-Juwaini
Al-Iman al-Juwaini yang juga dikenal dengan nama Imam al-Haramaen,
mempunyai nama lengkap Abu al-Ma'ali Abd al-Malik bin Abu Muhammad Abdullah bin
Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Hayyuyah al-Juwaini. Seorang ahli
ushul dan fikih, beliau bermazhab Syafi'i. Namun, al-Juwaini dinisbahkan pada
satu tempat yang ada di Naisabur, beliau bergelar Dhiya al-Din dan disebut Imam
al-Haramaen karena beliau pernah menetap di Mekah dan Medinah selama empat
tahun untuk belajar, berfatwa dan mengumpulkan metode-metode mazbab. Beliau
dilahirkan pada tanggal 18 Muharram 419 H.[20]
Al-Iman al-Juwaini belajar dari sejumlah ulama, antara lain dari
ayahnya sendiri Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al-Juwaini, seorang ulama
al-Syafi'i dan belajar hadis dari ulama-ulama besar yang ada saat itu. Ketika
ayahnya meninggal tahun 438 H, beliau menggantikan ayahnya sebagai mufti, di
samping juga tetap belajar, dan selalu menghadiri pengajian al-Isfarayaini
(wafat tahun 452 H) dan al-Khabbani (wafat tahun 449 H). Disaat terjadinya
fitnah antara Ahlu Sunnah dan Syi'ah di Naisabur pada tahun 446 H beliau pergi
menuju Baghdad dan kemudian ke Hijaz. Di Hijaz inilah ia tinggal selama empat
tahun. Setelah berakhirnya fitnah dan naiknya raja Alep Arselan seorang Sunni
di kursi pemerintahan sekitar tahun 451 H, al-Imam al-Juwaini kembali ke
Naisabur dan mengajar di sekolah al-Nizhamiyah salah satu sekolah yang dibangun
oleh Nizham al-Mulk perdana menteri Raja al-Arselan untuk mendukung mazhab
Sunni.
Pada saat inilah beliau lebih berkosentrasi untuk mengajar dan
menyusun kitab dalam membela dan mempertahankan mazhab ahl al-Sunnah. Adapun
hasil karya beliau, antara lain; kitab al-Nihaya (bidang fikih),
al-Syamil dan al-Irsyad (bidang Theologi), al-Burhandan Talkhish
al-Gharib wa al-Irsyad (ushul al-fiqh). Beliau wafat pada tanggal 25 Rabiul
akhir 478 H di Naisabur dan dimakamkan di samping ayahnya, rahimahumallah.[21]
c.
Hujjat al-Islam
al-Imam al-Ghazali
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali, beliau bergelar Hujjat al-Islam dan Zain al-Din al-Syarif, Thusiy
dan dipanggil dengan Abu Hamid, beliau lahir di Thus tahun 450 H. Beliau hidup
dalam keluarga yang sangat sederhana tapi teguh dalam prinsip-prinsip Islam.[22]
Dari Thus beliau mulai belajar dari salah seorang ulama besar Thus
yaitu al-Iman Ahmad bin Muhammad al-Razkani, kemudian beliau merantau ke
Jurjan, di sini beliau belajar dari Nashr al-Ismaili. Kemudian beliau kembali
ke Thus dan menetap selama tiga tahun, merenung, berpikir, dan menghafal apa
yang telah diperolehnya dari Thus. Kemudian beliau ke Naisabur dan berguru pada
Imam al-Haramain, disinilah produktivitas beliau sebagai seorang ilmuan nampak,
dengan menulis berbagai masalah. Sehingga al-Imam al-Haramain memberi julukan
pada beliau dengan "Lautan yang menenggelamkan.".
Sepeninggal al-Imam al-Haramain, al-Ghazali berangkat ke Askar
menemui al-wazir Nizham al-Mulk. Wazir ini sangat menghormatinya lalu
memberikan kepercayaan pada beliau untuk mengajar di sekolahnya di Baghdad pada
tahun 484 H. beliau mengajar sampai tahun 488 H. Mulai bulan Rajab tahun 488 H
kehidupan rohani beliau mulai bergejolak, dan ini berlangsung selama enam bulan
atau sampai pada awal tahun 489 H. Dari sinilah kehidupan sufi mulai
dijalaninya dengan beribadah, kehidupan sufi ini beliau jalani dengan alasan
yang sangat logis, sebagaimana yang dikatakan dalam kitabnya al-Munqiz min
al-Dhalal. Para sejarawan berbeda dalam menentukan berapa jumlah
karya-karya beliau, tapi yang jelas beliau telah menulis puluhan kitab tentang
al-ushul (ushul al-din dan ushul al-fiqh), masalah khilaf, tasawuf, bantahan
terhadap aliran kebatinan, filosof dan mutakallimim. Dan jumlah yang disepakati
oleh sejarawan sekitar 70 buah karangan, di antaranya: al-Mankhul fi
Ta'liqat al-Ushul, al-Mustashfa fi ilm al-ushul, Maqasid al-Falasifah, Tahafut
al-Falasifah, Miyar al-Ilm fi 'Ilm al-Mantiq, al-Munqiz min al-Dhalal, Ihya
ulum al-Din, dan lain-lain.[23]
Al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senin 14 Jumadil akhir 505 H.
dan dimakamkan di Zhahir al-Thabaran salah satu tempat di Thus berdampingan
dengan makam Harun al-Rasyid.
2.
Peranan dan
Pandangan Tokoh-Tokoh Al-Asy’ariyyah
Sebagaimana
al-Asy’ari dalam meletakkan dasar-dasar pemikiran teologi Asy’ariyah,
keberadaan tokoh-tokoh setelah al-Asy’ari seperti al-Baqillani, al-Juawaini dan
al-Ghazali juga turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan teologi
al-Asy’ari. Semangat yang berbeda dengan Mu’tazilah mempertemukan gagasan
mereka. Adapun peranan dan pandangan tokoh-tokoh al-Asy’ari dalam memperkuat
argumetasi al-Asy’ari adalah sebagai berikut:
Peran al-Baqillani dalam teologi Asy'ariyah adalah pengembangan
metode, Beliau mengembangkan metode (thariqah) dan meletakan premis-premis
logika yang menjadi dasar pijakan dalil-dalil dan teori-teori, seperti
menetapkan substansi primer (al-jauhar al-fard) dan void (al-khala),
dan accident (al-'ardh) tidak mungkin berdiri di atas accident (al-'ardh),
tidak mungkin dua waktu yang bersamaan, dan semisalnya yang menjadi dasar
pijakan dalil-dalil mereka. Dan menjadikan kaidah-kaidah ini sebagai dasar
untuk menetapkan kewajiban dalam beraqidah, karena kesalahan atau tidak
benarnya suatu dalil berarti tidak benar pula apa yang menjadi obyek suatu
dalil. Maka metode ini merupakan metode yang terbaik dalam ilmu-ilmu teori dan
agama.
Adapun pandangan-pandangan al-Baqillani dalam teologi Asy’ariyah
diantaranya membahas tentang Wujud Allah dan sifat-sifat-Nya, teori al-ahwal
dan kasab. Tentang Wujud Allah, al-Baqillani berpandangan sama dengan
al-Asy’ari. al-Baqillani berangkat dari penetapan akan kebaharuan alam, alam
yang terdiri dari al-jauhar atau al-'ardh, keduanya adalah sesuatu yang baru
dan yang baru pasti ada yang mengadakannya dan yang mengadakannya itu adalah
Allah. Dalil al-Baqillani antara lain dengan menetapkan bahwa Allah adalah
qadim dan alam adalah baru, dan sesuatu yang baru pasti ada yang mengadakannya,
dan yang mengadakannya tidak mungkin dari sesama jenisnya yang baru, tetapi
pasti adalah yang qadim, yaitu Allah swt.[24]
Sedangkan Al-Baqillani menetapkan sifat-sifat bagi Allah swt.,
seperti apa yang telah disebutkan dalam al-Qur’an. Beliau membagi sifat-sifat
tersebut atas dua bagian, yaitu: sifat-sifat al-zat dan sifat-sifat al-af'al.
Sifat zat adalah sifat yang tidak mungkin berpisah dengan zat, sifat al-'Ilm
misalnya tidak mungkin berpisah dengan zat Allah yang al-'Alim setiap
saat sejak azali dan selama-lamanya. Berbeda dengan sifat al-af'al yaitu
sifat-sifat Allah yang berhubungan dengan perbuatannya, karena Allah swt. ada
sebelum perbuatannya itu ada. Teori al-ahwal yang diajukan oleh
al-Baqillani merupakan kritik beliau terhadap pemikiran tokoh Mu’tazilah Abu
Hasyim tentang al-hal, bahwa Allah Alim bagi zat-Nya, yang
berarti bahwa dia mempunyai keadaan yaitu sifat yang diketahui di balik Dia
sebagai zat yang ada, tapi sifat dapat diketahui tidak berdiri sendiri, maka ahwal
adalah sifat-sifat yang tidak terwujud dan tidak berwujud, diketahui dan tidak
diketahui. Adapun menurut al-Baqillani bahwa al-hal tidak bersifat kontradiksi.[25]
Adapun dalam teori al-kasab yang dikemukakan oleh
al-Baqillani merupakan pengembangan yang sedikit berbeda dari Pendapat
al-Asy’ari bahwa kuasa manusia tidak mempunyai pengaruh untuk mewujudkan
perbuatannya, karena kuasa dan kehendaknya adalah ciptaan Allah swt. Al-Asy’ari
memberikan pemahaman tentang al-kasab adalah mewujudkan kehendak dalam
perbuatan, yaitu Allah swt. menciptakan kuasa pada manusia bersifat sementara
yang berkaitan dengan perbuatan, dan kuasa tersebut tidak mempunyai pengaruh
yang hakiki dalam mewujudkannya, tapi kuasa Allah yang memberikan pengaruh yang
sebenarnya.
Al-Baqillani dengan tetap berpegang pada teori al-kasab
secara umum, yaitu Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia, tapi beliau
lebih memperjelas bahwa perbuatan manusia tercipta karena pengaruh dua kuasa
yaitu kuasa Allah dan kuasa manusia yang diciptakan, kuasa Allah mempengaruhi
pada perbuatan (al-fi'l) dan kuasa manusia berpengaruh dalam realisasi
perbuatan. Perbuatan inilah yang menjadi standar apakah baik atau buruk,
mendapat pahala atau siksa.[26]
b.
Peran dan
Pandangan al-Juwaini
Perkembangan kedua dalam teologi al-Asy’ariyah berada di tangan
Imam al-Haramain al-Juwaini, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa metode yang dipakai
oleh al-Baqillani sangat baik, namun dalam hal penetapan dalil belum
sistematis, maka melalui al-Juawaini yang tertuang dalam kitabnya al-Syamil
dan al-Irsyad, menetapkan bentuk dalil yang telah tersusun secara
sistematis dengan mengklarifikasi antar ilmu-ilmu filsafat dan ilmu-ilmu logika
serta menjadikan metode berpikir logika sebagai standar untuk menetapkan kebenaran
suatu dalil. Beliau sangat mengandalkan akal, untuk mencapai keinginannya,
namun dalam masalah akidah yang bersifat sam'yat, menurut beliau tidak
usah dipertentangkan atau dengan kata lain cukup dengan keimanan tanpa ikut
campur akal.
Pandangan al-Juwaini dalam pengembangan teologi Asy’ariyah, tidak
terlalu berbeda jauh dari pendahulunya, beliau juga memberikan pendapatnya
tentang sifat-sifat Allah, seputar teori al-ahwal dan al-kasab. Menurut
pendapat al-Juwaini, sifat-sifat Allah dapt dibagi dua bagian yaitu sifat-sifat
nafsiyah dan sifat-sifat ma'nawiyah. Sifat nafsiyah adalah
semua sifat Allah yang harus ada, tidak pernah berpisah baik tidak mempunyai
sebab (ghair al-Syarif, mu'allah), dan sifat ma'nawiyah adalah
sifat-sifat al-ahkam yang ada, tapi keberadaannya disebabkan (mu'allalah)
dengan sebab-sebab ('illa-'illah). Sifat-sifat nafsiyah seperti al-wujud;
al-qidam, al-qiyam bi al-nafish, al-wahdaniyah, al-baqa dan tidak serupa
dengan yang baru. Al-Imam al-Juawaini sependapat dengan al-Asy’ari, namun
sifat-sifat al-khabariyah atau anthropomorphism, seperti wajah
tangan, dan istawa 'ala al-'arsy mereka berbeda. Beliau mentakwilkan
tangan dengan kuasa (al-qudrah), wajah dengan al -wujud, dan
Allah istawa 'ala al-arsy ditakwilkan dengan berkuasa dan maha tinggi.[27]
Menyangkut teori al-ahwal al-Juwaini sependapat dengan tokoh
Mu’tazilah Abu Hasyim bahwa al-ahwal tidak dapat diketahui karena
hal-hal yang diketahui (al-ma'lumat) terbagi dua, yaitu ada dan tidak ada,
al-Imam al-Juwaini menjadikan penghubung antara ada dan tidak ada adalah sifat
dari al-wujud. Sedangkan dalam konsep al-Kasab yang dikemukakan
al-Juwaini dianggap lebih mendekati pemikiran Mu’tazilah dibandingkan Asy-ariyah,
bahkan Harun Nasution berpandangan bahwa al-Juwaini berbeda jauh dari
Asy’ariyah dan lebih condong kepada Mu’tazilah dalam hal ini.[28]
Al-Juwaini berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban agama (al-takalif
al-syar'iyah) tidak logis bila ditanggung oleh manusia tanpa ada kuasa
untuk melaksanakannya, demikian juga kuasa yang Allah berikan pada manusia
tidak berarti bila tidak berpengaruh dalam mewujudkan perbuatannya, sama dengan
menafikan kuasa itu sendiri. Sehingga menisbatkan perbuatan pada manusia adalah
penisbahan yang hakiki, tetapi tidak berarti bahwa manusia yang menciptakan
perbuatannya, karena sifat pencipta hanya milik Allah semata.
c.
Peran dan
Pandangan al-Ghazali
Pengaruh al-Ghazali sangat kuat dalam kaitannya dengan teologi
Asy’ariyah sehingga beliau digelari Hujjatul Islam. Bahkan sebagian
ilmuan seperti Ahmad Mahmud Shubhi memposisikan al-Ghazali seperti Aristoteles
dalam peradaban Yunani, Desacrtes dan Immanuel Kant dalam peradaban Eropa.
Salah satu sumbangsih terbesar al-Ghazali adalah kitab ihya ulum al-Din,
sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa al-Ghazali merupakan rujukan
yang utama dalam membahas teologi Asy’ariyyah.
Kesamaan pendapat al-Ghazali dan al-Asy’ari dalam teologi dapat
ditelusuri dari kitab beliau al-Iqtishad fi al-I'tiqad meliputi bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat-Nya dan
mempunyai wujud diluar zat, Al-Quran bersifat qadim dan bukan makhluk,
perbuatan dan daya manusia Tuhanlah yang menciptakannya. Ru'yatullah
dapat terwujud, karena sesuatu yang mempunyai wujud dapat dilihat, keadilan
Tuhan, tidak dapat diukur dengan keadilan hamba (manusia), serta sifat-sifat
Tuhan yang lain, al-qudrah, al-iradah, al-'Ilm.[29]
Salah satu pandangan al-Ghazali yang berbeda dari tokoh Asy’ariyah
yang lainnya, adalah konsep Causalitas (hubungan sebab akibat) yang merupakan
adopsi dari pemikiran Aristoteles kemudian disesuaikan dengan teologi yang
dipahami oleh al-Ghazali. Al-Ghazali berpendapat bahwa menghubungkan antara apa
yang diyakini dalam hal yang biasa antara sebab dan yang disebabkan tidaklah
mesti, dan menetapkan salah satunya tidak berarti menetapkan yang lain
begitupun sebaliknya, karena semuanya telah diawali dengan takdir Allah,
memberi contoh antara lain bahwa kenyang tidak mutlak harus dengan makan, tapi
Allah bisa mentakdirkan bahwa seseorang bisa kenyang tanpa melalui makan.[30]
D.
PANDANGAN-PANDANGAN
AL-ASY’ARIYYAH
Adapun
pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya
ialah:
1.
Bahwa Tuhan
mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat,
yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada
makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2.
Al-Qur’an itu
qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3.
Tuhan dapat
dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4.
Perbuatan-perbuatan
manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5.
Keadilan Tuhan
terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa
pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman
(al-wa’d wa al-wa’id).
6.
Mengenai anthropomorfisme,
yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan
dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7.
Menolak konsep
tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak mungkin pada
diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan
antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar
pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua
kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai
berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh
Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin
menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan
mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak
akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok
untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan
makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi
berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh
sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau
Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya
dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya.
Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang
Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di
antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari
keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf
nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang
diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak
kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim. Koreksi
atas pandangan Asy’ari. Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak
yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w.
1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang
sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat
Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah.
Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan
Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang
efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi
dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga
menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam
al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini
beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan)
sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah,
wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan
sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1.
Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di
luar zat.
2.
Al-Qur’an
bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3.
Mengenai
perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4.
Tuhan dapat
dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5.
Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib
memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak
dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari
dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu
aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara
itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad,
tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa.
Di antara para ulama besar dunia
yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
1.
Al-Ghazali
(450-505 H/ 1058-1111M)
2.
Al-Imam Al-Fakhrurrazi
(544-606H/ 1150-1210)
3.
Abu Ishaq
Al-Isfirayini (w 418/1027)
4.
Al-Qadhi Abu
Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5.
Abu Ishaq Asy-Syirazi
(293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling
dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah
polarisasi antara wahyu dan filsafat.[31]
E.
PENUTUP
Pembahasan
di atas menunjukkan bahwa kelompok Asy’ariyah muncul karena ketidakpuasan Abul
Hasan Al-Asy’ari terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh
kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga periode
dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah, dan Salaf.
Selanjutnya,
pemikiran Asy’ari dilanjutkan dan disebarkan oleh para muridnya. Hanya saja,
pemikirannya tersebut tidak diambil seratus persen, tetapi ada yang dibenahi dan
dikoreksi. Paham Asy’ariyah yang disebarkan oleh para muridnya, tampaknya
bukanlah pemahaman murni Asy’ari pada periode yang ketiga dari perjalanan
pemahaman akidahnya. Oleh karena itu, dalam pengertian umum ia tidak bisa
disamakan dengan ahlus sunnah wal jamaah.
Adapun
pergolakan antara Asy’ariyah dan Muktazilah di antaranya terjadi dalam beberapa
permasalahan, seperti Al-Qur’an, sifat Allah, dan status pelaku dosa besar.
Semoga pergolakan tersebut dapat semakin mendewasakn umat Islam dalam berpikir
dan sekaligus mendorong mereka untuk selalu berpegang pada akidah yang benar,
ahlus sunnah wal jamaah.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Nukman, t.th. Al-Asy’ari (874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir
Tuhan. Jakarta: Erlangga.
Abdullah,
Muhammad Ramadhan, 1986. Al-Baqillani wa Arauhu al-Kalamiah. Baghdad: Mathba'ah
al-Ummah
Al-Baqillani,
1986. 'Imad al-Din Ahmad al-Haidar dalam Abu Bakr bin Thayib,. al-Inshaf.
Tahqiq ‘Imad al-Din Ahmd al-Haidar. Cet. I. Beirut : 'Alam al-Kutub.
Al-Ghazali,
Al-Imam, 1987.Tahafut al-Falafisah. Talqiq DR. Solaiman Donya. St. VII.
Cairo: Dar al Ma'arif.
Al-Maraghi , Abdullah Musthafa.t.th. Al-Fath al Mubin fi Tabaqat
al-Ushuliyyin. juz 1. Cairo: Abd al-Hamid Hanafi.
Al-Taftazani, Al-Imam Mas'ud bin Umar bin Adullah Sa'd al-Din, 1989.
Syarh al-Maqashid. Tahqiq Abd al-Rahman 'Umairah, juz IV. Cet. I;
Beirut: 'Alam al-Kutub.
Al-Usairy,
Ahmad, 2003.Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,
Penerjemah : Samson Rahman Cet. I. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Amin,
Husayn Ahmad, 1999. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli : Al-Mi’ah
al-A’zham fi Tarikh al-Islam. Bandung,: PT. Remaja Rosdakarya.
Badawi,
Abdurrahman, 1984. Mazhab Al-Islamiyyin,Dar Ilm li Al-Maliyin.
Hanafi,
A. 2001. Pengantar Theology IslamCet.VII. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra.
Haq,
Hamka, 2000. Dialog: Pemikiran Islam. Makassar: Yayasan Al-Ahkam
Ibnu
Katsir, 1996. Al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Beirut: Dar al-Fikr.
Ishla,
Abd. Salam Al-Rifa'i, 1998.Taqrib al-Turats "Ihya Ulum al-Din" li
al-Imam al-Ghazali. Cet. I. Cairo: Markaz al-Ahram li al-Taljamah wa
wal-Nasyr.
Nasution,
Harun, 1986.Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan Cet.V.
Jakarta: UI-Press
Nata,
Abuddin, 1993. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Shihab, M. Quraisy, 2007. Sunnah-SyiahBergandenganTangan!
Mungkinkah?KajianatasKonsepAjarandanPemikiranCet.II.Jakarta: LenteraHati.
Shubhi, Ahmad Mahmud, 1992. Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2.
Alexandaria: Muassasah al-Tsaqafah al-Jami'iyah.
Yusuf,
M. Yunan, 2003.Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar Sebuah Telaah Atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam Cet.II. Jakarta: Penamadani.
Ahmad
Saiful Rijal, 20013.Aliran Al-Asy’ariyyah, http://s-ipoel.blogspot.com/2013/06/ilmu-kalam-aliran-al-asyariyyah.html.
Asy-Syaikh Fahrur Mu'is bin Qusry, 2009.Paham Kalam Asy’ariyah, http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html
[1]M. Yunan Yusuf. CorakPemikiranKalamTafsir
Al-AzharSebuahTelaahAtasPemikiranHamkadalamTeologi Islam (Cet.II; Jakarta:
Penamadani, 2003), h.7.
[3]Abdurrahman
Badawi, Mazhab Al-Islamiyyin,Dar Ilm li Al-Maliyin, 1984, h. 92.
[4]Ahmad Saiful
Rijal, Aliran Al-Asy’ariyyah, http://s-ipoel.blogspot.com/2013/06/ilmu-kalam-aliran-al-asyariyyah.html. 2013.
[5]Harun Nasution.
Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V;
Jakarta: UI-Press, 1986), h.66.
[6]Hamka Haq, Dialog:
Pemikiran Islam (Makassar: Yayasan Al-Ahkam, 2000), h.12
[7]A. Hanafi, Pengantar
Theology Islam (Cet.VII; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001), 95.
[8]Ahmad
al-Usairy. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX ,
Penerjemah : Samson Rahman (Cet.I; Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003),
h.231-232.
[9]Nukman Abbas. Al-Asy’ari
(874-935 M) Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga,
t.th), h.104.
[10]Ahl as-Sunnahberarti orang-orang yang secarakonsistenmengikutitradisiNabi Muhammad
saw,
dalamhaliniadalahNabidalamtuntunanlisanmaupunamalanbeliausertasahabatmuliabeliau.
Lihat! M. QuraisyShihab, Sunnah-SyiahBergandenganTangan! Mungkinkah?KajianatasKonsepAjarandanPemikiran(Cet.II;
Jakarta: LenteraHati, 2007), h. 57.
[11]Hamka Haq, Dialog:
Pemikiran .... h. 11
[12]Hamka Haq, Dialog:
Pemikiran .... h. 13
[13]A. Hanafi, Pengantar
.... h. 96
[14]Abuddin Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat, dan Tasawuf Dirasah Islamiyah IV (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, t.th.), h.25.
[15]Husayn Ahmad
Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam Judul Asli : Al-Mi’ah al-A’zham fi
Tarikh al-Islam (Cet.IV; Bandung,: PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h.125.
[16]Husayn Ahmad
Amin, Seratus Tokoh ... h. 20
[17]Abdullah
Musthafa Al-Maraghi, Al-Fath al Mubin fi Tabaqat al-Ushuliyyin. juz 1.
Cairo: Abd al-Hamid Hanafi. t.t. h. 233
[18]Ibnu
Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah. juz VII. Beirut: Dar al-Fikr. 1996, Cet.
I, h. 112
[19]Ibnu Katsir, al-Bidayah
.... h. 111
[20]Ibnu Katsir, al-Bidayah
.... h. 261
[21]Abdullah
Musthafa Al-Maraghi, Al-Fath ... h. 274-275
[22]Abdullah
Musthafa Al-Maraghi, Al-Fath ... h. 8
[23]Abd.
Salam Al-Rifa'i Ishla, Taqrib al-Turats "Ihya Ulum al-Din" li
al-Imam al-Ghazali. Cet. I. Cairo: Markaz al-Ahram li al-Taljamah wa
wal-Nasyr. 1988. h. 31
[24]Al-Baqillani,
'Imad al-Din Ahmad al-Haidar dalam Abu Bakr bin Thayib,. al-Inshaf. Tahqiq
‘Imad al-Din Ahmd al-Haidar. Cet. I. Beirut : 'Alam al-Kutub. 1986. h.
43-48
[25]Muhammad
Ramadhan Abdullah, al-Baqillani wa Arauhu al-Kalamiah. Baghdad:
Mathba'ah al-Ummah. 1986. h. 487
[26]al-Imam
Mas'ud bin Umar bin Adullah Sa'd al-Din Al-Taftazani, Syarh al-Maqashid.
Tahqiq Abd al-Rahman 'Umairah, juz IV. Cet. I; Beirut: 'Alam al-Kutub. 1989. h.
223
[27]Ahmad
Mahmud Shubhi. Fi 'Ilm al-Kalam. juz 2. Alexandaria: Muassasah
al-Tsaqafah al-Jami'iyah. 1992. h. 157
[28]Harun
Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan.
Jakarta: Universitas Indonesia. Press, 1986, Cet. V. h. 72
[29]Harun Nasution,
Teologi ... h. 73
[30]Al-Imam
al-Ghazali. Tahafut al-Falafisah. Tailqiq DR. Solaiman Donya. St. VII.
Cairo: Dar al Ma'arif, 1987. h. 239
[31]Asy-Syaikh
Fahrur Mu'is bin Qusry. Paham Kalam Asy’ariyah, http://ustadzmuis.blogspot.com/2009/02/paham-kalam-asyariyah.html,
2009. Diakses Tanggal 03 Maret 2015 Jam 09.45
0 komentar:
Posting Komentar