KONSEP DASAR FILSAFAT ILMU DAN SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN




A.      PENDAHULUAN
Sejak hadirnya manusia di dunia sebagai mahluk Bumi, sebenarnya mereka telah memiliki ilmu pengetahuan sebagai penolong hidupnya untuk bertahan dan melangsungkan keberlanjutan generasinya hingga hari ini. Pemahaman tentang keilmuan memang sangat terbatas hanya sebatas berfikir manusia. Dalam perspektif agama ilmu bersumber dari Sang Khalik. Ketika Tuhan hendak menciptakan manusia tentu saja telah dibekali dengan seperangkat alat deteksi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan seperangkat alat deteksi yang telah dikonstruksi Tuhan itulah manusia dapat memberdayakan dunia untuk kemaslahatan makhluk.
Sejarah ilmu pengetahuan mulai dari klasik hingga kontemporer tercatat, banyak temuan ilmuan yang tidak dapat terjawab secara tuntas karena keterbatasan ilmu pengetahuan, metodologi dan tentunya keterbatasan manusia itu sendiri. Banyak permasalahan yang dipertanyakan oleh manusia, tetapi tidak semua masalah yang dipertanyakan dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan. Karenanya Ilmu itu terbatas pada subjek, objek dan metodologinya sendiri.
Tidak semua masalah yang tidak atau belum terjawab oleh ilmu, lantas dengan sendirinya dapat dijawab oleh filsafat. Jawaban filsafat sifatnya spekulatif dan alternatif tentang suatu jawaban dari masalah asasi yang sama boleh jadi akan lahir berbagai jawaban, hal ini dimungkinkan terjadi karena manusia bertolak pada latar berfikir masing-masing. Disinilah agama hadir sebagai sintesis atas problema asasi ilmu dan filsafat yang tidak tejawab tuntas bagi manusia.[1]
Pada akhirnya jawaban yang ingin didapatkan manusia adalah hakikat dari kebenaran yang hakiki. Filsafat sebagai Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kapastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui apa yang telah kita ketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas ini.
Akal adalah potensi rohaniah yang memiliki berbagai kesanggupan seperti kemampuan berfikir, menyadari, menghayati, mengerti dan memahami. Jadi pemikiran kesadaran, penghayatan, pengertian dan pemahaman semuanya merupakan istilah yang berarti bahwa kegiatan akal itu berpusat atau bersumber dari kesanggupan jiwa yang disebut dengan intelegensi (sifat kecerdasan jiwa).
Berpikir di maksudkan untuk mengetahui sesuatu yang belum diketahui dengan kata lain bahwa kebenaranlah yang menjadi tujuan utamanya, dari proses berpikirnya yang mengatakan pengorganisasian dan pembudian pengalaman-pengalamannya secara empiris dan eksperimen di maksudkan dapat mencapai pengetahuan, tetapi apakah pengetahuan yang diperoleh adalah benar dan apa yang dimaksud kebenaran dalam ilmu pengetahuan?
Kebenaran adalah adanya korespondensi, koherensi dan konsistensi antara subjek dan objek secara pragmatis, jadi ada dua kebenaran yang ingin dicapai yaitu mutlak dan relatif. Dikatakan relatif karena kebenaran ini merupakan hasil pemikiran manusia dalam teori pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri bukanlah sesuatu yang sudah selesai terpikirkan, tetapi sesuatu hal yang tidak pernah mutlak sebab ia masih selalu membuka diri untuk pemikiran kembali atau peninjauan ulang.[2]

B.      SEJARAH FILSAFAT ILMU
1.     Pengertian Filsafat Ilmu
Ada berbagai definisi filsafat ilmu yang dihimpun oleh The Liang Gie, disini hanya akan dikemukan empat pendapat yang dianggap paling refresentatif.[3]
a.      Robert Ackermann: Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.
b.     Lewi White Beck: Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba meletakkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
c.      Cornelis Benjamin: Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-pranggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.
d.     My Brodbeck: Filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.
Keempat definisi tersebut memperlihatkan ruang lingkup atau cakupan yang dibahas di dalam filsafat ilmu, meliputi antara lain:
a.      Komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu.
b.     Sifat dasar ilmu pengetahuan
c.      Metode ilmiah
d.     Peranggapan-peranggapan ilmiah
e.      Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan
Selain keempat definisi di atas, filsafat ilmu merupakan kata lain dari epistemologi, berasal dari bahasa Latin, episteme yang berarti Knowledge, yaitu pengetahuan; logos berarti theory. Jadi epistemologi berarti ”teori pengetahuan” atau teori tentang metode, cara, dan dasar dari ilmu pengetahuan, atau studi tentang hakikat tertinggi, kebenaran, dan batasan ilmu manusia. Dalam filsafat epistemologi adalah cabang filsafat yang meneliti asal, struktur, metode-metode, dan kesahahihan pengetahuan.[4]
Filsafat ilmu atau epistimologi adalah analisis filosofis terhadap sumber-sumber pengetahuan. Dari mana dan bagaimana pengetahuan diperoleh, menjadi kajian epistemologis, sebagai contoh bahwa semua pengetahuan bersumber dari Tuhan, artinya Tuhan sebagai sumber pengetahuan. Adapun landasan ontologis suatu ilmu menjelaskan objek yang ditelaah ilmu tersebut, wujud hakikinya serta bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia, seperti berfikir, merasa, dan mengindra yang membuahkan pengetahuan.
Dalam wikipedia bahasa Indonesia disebutkan bahwa filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.[5]
2.     Sejarah Filsafat
Filsafat, terutama filsafat Barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke-7 SM. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan. Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan melakukan eksperimen dan percobaan, tetapi dengan mngutarakan masalah secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu.[6]
Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Banyak yang bertanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu, seperti Babilonia, Yudea (Israel), atau Mesir. Jawabannya sederhana, di Yunani tidak seperti di daerah lainnya, tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi para filosuf Yunani yang terbesar tentu saja antara lain: Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates ialah guru Plato, sedangkan Aristoteles ialah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar  karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar dalam sejarah filsafat. Buku karangan Plato yang paling terkenal yaitu berjudul Etika, Republik, Apologi, Phaedo dan Krito.
Filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat secara umum dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah dibagi menjadi filsafat Barat, filsafat Timur, dan filsafat Timur Tengah. Adapun filsafat dilihat dari latar belakang agama dibagi menjadi filsafat Islam, filsafat Budha, filsafat Hindu, dan filsafat Kristen.
3.     Perkembangan Historis Filsafat Ilmu
a.     Periode Klasik dan Abad Tengah: Permulaan Filsafat Alam.
Pada mulanya persoalan-persoalan ilmu adalah di seputar metode dan substansi yang tidak terpisahkan dari apa yang telah lama disebut sebagai filsafat alam. Usaha pertama melampaui mitologi-mitologi tradisional menuju penjelasan rasional atas alam, dimulai oleh para filosuf Ionia dan Italia Selatan 600 tahun sebelum masehi.[7]
Mereka mencari unsur-unsur atau entitas-entitas yang dikandung oleh semua benda. Pertimbangan-pertimbangan empiris atau hasil pengamatan yang mendalam, yang mendukung penjelasan yang satu atau penjelasan saingannya, masih prematur. Sebagai contoh, apakah manifestasi-manifestasi fenomena alam yang berbeda-beda berasal dari suatu bentuk materi tunggal yang kekal atau berasal dari beberapa substansi elementer yang bergabung bersama-sama, dan apakah berupa substansi fundamental, berlangsung terus dan berubah-ubah, ataukan berupa substansi tersendiri dan bersifat atomik? Yang lainnya bertanya, apakah bentuk-bentuk fenomena yang diamati merupakan bukti dari sesuatu yang bersifat universal, pikiran yang mendasari atau suatu rumpun jenis-jenis roh yang hidup bersama-sama yang bertanggung jawab atas fenomena yang mempunyai tatanan kompleksitas yang berbeda.
Pada filosuf Pra-Sokratik mendasarkan jawaban mereka sedapat mungkin pada dasar-dasar epistemik, dengan mempertimbangkan jenis-jenis penjelasan apa yang sungguh-sungguh dapat dimengerti. Seperti halnya yang berdasarkan hal yang ontal atau empiris dengan mempertimbangkan jenis-jenis entitas abadi apa yang mungkin terlihat atau didapat dalam pengalaman, jenis eksistensi yang dibutuhkan.
Meskipun Plato dan Aristoteles memperlihatkan perhatian cermat terhadap kasus-kasus aktual, namun filsafat ilmu mereka masih berhenti pada percampuran pertimbangan-pertimbangan ontologis, epistemologis dan empiris yang sama. Pertanyaan-pertanyaan tentang alam didiskusikan dalam Timaeus karya Plato dan Physics karya Aristoteles, misalnya berciri tidak murni metafisik ataupun murni empiris walaupun keduanya mempunya aspek metodologis yang mirip dengan filsafat ilmu modern. Juga konstruksi Plato mengenai teori-teori fundamental ilmu di seputar konsep-konsep dan pola-pola yang dipinjam dari geometri mempunyai pengaruh mendalam pada periode moderen, pada René Descartes misalnya, dalam abad ke-17 dan pada logika modern, matematisi Jerman Gottlob Frege, dalam tahun 1810-an dan sesudahnya.[8]
Perkembangan filsafat ilmu berikutnya, tema-tema yang dinyatakan Plato dan Aristoteles terjadi lagi berulang-ulang dan ditampilkan kembali sekarang ini melalui pendekatan yang bersaing terhadap topik tersebut, satunya (Platonis) berdasarkan pada logika. Lainnya (Aristotelian) berdasarkan pada sejarah ilmu. Keduanya mendominasi topik tersebut selama periode Yunani kuno belakangan. Perdebatan berlanjut antara penerus Atomis Demokritus dan Epikurus dengan para filosuf Stoa, yang dipimpin oleh Zeno dari Citium.
Kedua perdebatan ini menampilkan dengan jelas dan untuk pertama kalinya, alternatif utama cara-cara penjelasan yang berlaku pada ilmu dan menganalisis kemungkinan-kemungkinan dan kekurangan-kekurangannya dalam istilah-istilah umum. Lebih dari 2000 tahun sebelum munculnya termodinamika modern dan teori medan misalnya, Aristoteles sudah mengenali berbagai kesulitan menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan fisik seperti pencairan dan penguapan. Sementara itu, bahkan lebih awal lagi, Plato telah memperlihatkan kemungkinan penjelasan matematis terpadu mengenai perbedaan-perbedaan di antara substansi-substansi materi yang berbeda-beda jenisnya.
Berbeda dengan periode sebelum Euklides sang ahli geometri (hingga 300 S.M.), periode Hellenistik, Islamik dan Abad Tengah hanya menambahkan sedikit saja bagi pemahaman metodologi dan penjelasan ilmiah. Mulai dari astronom Alexandria, Ptolomeus, yang memperdalam teori geosentris, kebanyakan para filosuf alam dengan sengaja membatasi klaim-klaim intelektualnya dalam suatu gaya instrumentalis, yakni dengan merancang secara sistematis prosedur-prosedur matematis untuk meprediksi, misalnya, gerhana bulan dan gerakan planet. Dalam hal ini mereka mengabaikan mekanisme-mekanisme penting bagi fenomena itu, dengan demikian melindungi teknik-teknik perhitungan ilmu-ilmu tersebut dari resiko berkonflik dengan teologi selama 1.250 tahun, hingga zaman Kopernikus.
Oleh sebab itu, pada puncak Abad Pertengahan, kemungkinan bagi manusia untuk membuat dirinya menjadi tuan intelektual alam, sebagian besar sudah ditinggalkan. Pengertian manusia kini tergantung kepada penerangan Allah. Jaminan pengetahuan ilmiah tidak terletak pada mutu metodologinya melainkan terletak pada berkat Allah, itulah yang memastikan kepercayaanya (reliability). Dalam penafsiran ini, manusia tidak memiliki jalur langsung untuk memasuki alam, satu-satunya jalan menuju pengetahuan adalah melalui pikiran ilahi. Sehingga semua persoalan utama dalam filsafat ilmu dinyatakan kembali sebagai persoalan teologis, sebagai persoalan di seputar hubungan kemaha-tahuan (omnipotence)  Allah dengan pengetahuan manusia yang lebih terbatas.[9]
b.     Abad ke-17 dan ke-18: Dari Manifesto Hingga Kritik.
Walaupun Renesans intelektual pada abad ke-16 dan 17 disertai dengan sekulerisasi pembelajaran, yang memindahkan pusat perdebatan filosofis dan ilmiah dari biara-biara ke dalam di universitas-universitas bahkan di salon-salon pertemuan-pertemuan secara teratur di kalangan penulis, artis dan lain-lain, dimana hubungan antara filsafat dan teologis tidak terputus secara mendadak. Descartes, Newton dan Leibniz, sarjana terkemuka zaman itu, mereka semua berusaha memperlihatkan bahwa posisi-posisinya cocok dengan teologi, dan kontroversi-kontroversi  di seputar pengetahuan manusia dan rahmat ilahi dijumpai lagi dalam gema argumen-argumen, seperti peryataan Descartes, bahwa metode rasional penelitian dapat dipercayai dengan meyakini bahwa Allah tidak akan  menipu kita dengan sengaja.
Antara tahun 1600 sampai 1800 perdebatan dalam filsafat ilmu hampir tak dapat dipisahkan dari perdebatan dalam ilmu itu sendiri. Sejak Bacon dan Galileo  melalui Descartes dan Leibniz hingga Laplace dan Kant, semua peserta utama perdebatan memainkan peranan penting di pentas ilmiah. Demikianlah Francis Bacon dan René Descartes keduanya memikirkan tujuan intelektual yang sama, yakni merumuskan secara eksplisit suatu metode baru bagi kemajuan intelek, yakni dengan cara menyusun prosedur-prosedur rasional ilmu dalam cara yang membebaskannya dari asumsi-asumsi yang sewenang-wenang, tak beralasan atau takhayul dan mendasarkan pada cara yang tak tergoyahkan dalam konsep-konsep yang bersifat jelas dan terpilah-pilah.
Argumen-argumen Bacon dan Descartes benar-benar merupakan manifesto, keduanya menawarkan program-program intelektual bagi sebuah ilmu alam yang hendak dibangun. 150 tahun kemudian Galileo dan Newton dan banyak ilmuan lain menyusun ilmu fisika baru yang dianjurkan oleh para filosuf.
Mulai dari tahun 1700 wilayah perdebatan filsafat ilmu berpindah. Serangan-serangan pada metode dan asumsi-asumsi Newton yang dilancarkan oleh Leibniz, Berkeley dan sisa-sisa Cartesian terus berlanjut dari sudut pandang yang berbeda. Namun pada tahun 1740 berakhirlah masa bagi manifesto dan keberatan-keberatan tersebut. Ketepatan basis ilmiah konsep-konsep Newton tak lagi dipertanyakan dan diragukan.
c.      Sampai Perang Dunia I: Filsafat Fisika Klasik
Daya upaya filosofis Kant yang ambisius butuh waktu lama untuk dipahami. Dalam tahun 1880-an para filosuf ilmu dengan cara yang berbeda-beda, seperti Ernst Mach, fenomenalis Austria dan Heinrich Hertz perintis gelombang elektromagnetik, keduanya melanjutkan persoalan-persoalan yang dibukakan oleh Kant.
Bila kita kembali ke masa lampau dalam satu hal tampaknya Kant telah berusaha terlalu banyak. Mencakup seluruh struktur inderawi manusia dan pengaturan intelektual seluruh geometri Euklidean, fisika fundamental Newton dan pemikiran-pemikiran prailmiah mengenai substansi dan sebab, Kant memperlihatkan bahwa struktur manusia adalah satu-satunya struktur yang dapat diterima dan paling efektif.
Perdebatan dalam filsafat ilmu abad ke-19 berpusat pada topik-topik pinggiran dan menghidnari isu-isu yang dapat mempertanyakan kemapanan fisika klasik Newton. Validitas sistem klasik tidak dipersoalkan. Persoalan-persoalan yangdianggaprelevan hanya menyangkut penafsiran implikasi-implikasinya, dan posisi-posisi yang dimunculkannya dapat diklasifikasikan dengan penyederhanaan yang agak berlebihan, di bawah kubu doktrin mekanistik atau materialistis dan doktrin idealis.[10]
d.     Perdebatan Abad ke-20
Di pertengahan abad ke-20 M. perdebatan dalam filsafat ilmu menjadi semakin mendalam, rumit dan kritis. Tema-tema utama perdebatan sebagian besar diperkenalkan dalam diskusi periode sekitar tahun 1900. Di Inggris dikembangkan teori-teori : possitivisme, empirisme, dan  teori-teori epistemologis tentang data-data indrawi. Di sisi lain, aliran yang lebih berorientasi aspek kesejarahan, terutama Marxis Kritis menekankan pengembangan dinamis karakter struktur-struktur dan hubungan-hubungan sosial.
Dalam kenyataannya filsafat ilmu, selama 50 tahun kita melihat bahwa topik itu akhirnya mendapat status sebagai suatu disiplin profesional yang mantap. Penyebab perkembangan ini adalah perubahan-perubahan mendalam yang terjadi sejak tahun 1900 di dalam fisika teoritis dan cabang-cabang fundamental ilmu alam.
Selama periode yang sama perubahan-perubahan yang luar biasa terjadi di dalam ilmu-ilmu sperti fisika teoritis, biokimia, dan psikologi telah merangsang diskusi-diskusi filosofis di kalangan para ilmuan itu sendiri.

C.      MAKNA FILSAFAT ILMU BAGI KEHIDUPAN
1.     Hajat Manusia Terhadap Ilmu Pengetahuan
Menurut Imam Al-Ghazali, ilmu itu terdiri dari tiga jenis, yaitu ilmu sebagai proses, yakni ilmu yang ditangkap oleh pancaindra, ilmu akal dan ilmu laduni. Yang dimaksud ilmu sebagai proses adalah bahwa ilmu senantiasa dicapai melalui pengalaman pancaindra, tetapi hasilnya sangat subjektif.[11]
Pandangan Imam Al-Ghazali tentang kedudkan ilmu bagi manusia, berbeda dengan pandangan Barat dengan paradigma humanistiknya. Imam Al-Ghazali berpandangan bahwa ilmu pada esensinya adalah alat untuk mengetahui kebesaran Tuhan (ma’rifatullah), sehingga keyakinan yang tunjukkan kepada Tuhan menjadi keyakinan yang rasional dan serasi dengan ilmu-ilmu ilahiah. Adapun ilmu dalam paradigma Barat ditemukan dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk mempermudah manusia melakukan kepentingan dan memenuhi kebutuhannya.
Ilmu pengetahuan terbukti telah membedakan martabat manusia dan derajatnya di mata Tuhan. Bagi orang-orang Islam, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu dengan beberapa derajat. Itu artinya, ilmu pengetahuanbenar-benar akan membedakan antara yang bodoh dengan yang pintar. Hajat manusia akan ilmu pengetahuan disebabkan dua hal mendasar yaitu:
a.       Ilmu sebagai petunjuk ke jalan yang lebih baik dalam kehidupan manusia di segala sektor dan aspek.
b.       Ilmu sebagai alat untukmempermudah jalan hidup manusia dalam menghadapi masalah.
2.     Implikasi Mempelajari Filsafat Ilmu
a.      Bagi seseorang yang memepelajari filsafat ilmu diperlukan pengetahuan dasar yang memadai tentang ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, supaya para ilmuan memiliki landasan berpijak yang kuat. Ini berarti seorang ilmuan sosial perlu mempelajari ilmu-ilmu kealaman secara garis besar, demikian pula seorang ilmuan alam perlu memahami dan mengetahui secara garis besar tentang ilmu-ilmu sosial.  Sehingga antara ilmu yang satu dengan yang lainnya salaing berhubungan secara harmonis untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan.
b.     Menyadarkan seoarang ilmuwan agar tidak terjebak ke dalam pola pikir “menara gading”. Yakni hanya berfikir murni dalam bidangnya tanpa mengaitkannya dengan kenyataan yang ada di luar dirinya. Padahal setiap aktivitas keilmuan nyaris tidak dapat dilepaskan dari konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.[12]
3.     Manfaat dan Makna Filsafat Ilmu
Bervariasinya objek materinya, jika dicermati mengandungidentitas yang saling berdekatan atau identik antara yang satu dengan yang lainnya. Sedemikian rupa sehingga semua objek itu berada dalam suatu hubungan yang sistematik dan tak terpisahkan. Akibatnya, pemahaman mengenai suatu hal mengharuskan pertimbangan-pertimbangan terhadap yang lain. Di antara objek tersebut, memberi arti, kedudukan dan fungsi. Dengan demikian dapat dilihat, misalnya benda-benda alam memberi arti, kedudukan dan fungsi terhadap manusia dan masyarakatnya serta terhadap Tuhan Sang Pencipta, demikian sebaliknya.
Persoalan kemudian adalah mengapa Filsafat Ilmu itu ada? dalam hal ini ada dua hal, yaitu faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internal dan ilmu pengetahuan itu sendiri, maksudnya historisitas ilmu pengetahuan, sampai dewasa ini berkembang menjadi banyak jenis dan semakin pragmatis. Terdorong oleh penemuan pengetahuan yang pasti kebenarannya, maka dilakukan pembatasan lingkaran objek (objek formal), dan penggunaan metode dan sistem yang tepat. Kedua, faktor eksternal yang juga terkait dengan faktor internal, diduga keras penyebabnya adalah faktor eksternal. Kenyataannya, laju perkembangan manusia sudah tidak imbang lagi dengan jumlah persediaan sumber daya alam. Maka berkaitan dengan hal itu, diperlukan pengetahuan yang benar dan pasti, yang bersifat praktis teknis pengetahuan seperti ini dapat berdaya guna dalam kehidupan manusia.[13]
Filsafat Ilmu adalah suatu bidang studi filsafat yang obyek materinya berupa ilmu pengetahuan dalam berbagai jenis dan perwujudannya. Jadi meliputi pluralitas ilmu pengetahuan. Sementara objek formalnya yaitu berupa hakekat ilmu pengetahuan. Jadi Filsafat Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang benar secara hakiki mengenai objek pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan atau sudut pandang metode atau sistem yang filosofis.
Kedua faktor tersebut dalam perkembangannya menghasilkan teknologi yang berkemampuan luar biasa. Agaknya manusia sebagai penghasil teknologi diarahkan menuju kemudahan. Akan tetapi dibalik semua itu manusia menjadi tamak, serakah dan manusia alpa terhadap tugasnya. Sebagai khalifah. Bahkan manusia kehilangan moral dan imannya, bersifat individual, egoistik dan eksploitatif, dalam lingkungan, bahkan terhadap Tuhan. Dengan kenyataan seperti itu filsafat hadir di tengah keragaman ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka meluruskan sehingga terarah pada pencapaian tujuannya. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya bernilai ilmiah saja melainkan bernilai ilmiah keilahian.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan harus berdasarkan diri pada aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dengan demikian filsafat dapat menetralisir kemungkinan-kemungkinan yang dimunculkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasar pada uraian-uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa Filsafat Ilmu hadir dengan memikul tanggung jawab yang berat, karena di samping menetralisir temuan-temuan ilmu pengetahuan, juga memikirkan bagaimana ilmu pengetahuan berdaya guna dalam kehidupan manusia. Sehingga dapat ditarik garis besar manfaat filsafat ilmu bagi manusia ada sebagai berikut:
a.       Menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan untuk menuju kemuliaan sehingga mampu menembus dimensi sekularisme ilmu pengetahuan. 
b.       Membentuk dan mengembangkan wawasan epistemologi ilmu pengetahuan sehingga moralitas kesarjanaan, yaitu sifat ilmiah menjadi popular. Dengan demikian iptek dapat dipertanggungjawabkan, bukan hanya kepentingan subjek manusia melainkan juga kepentingan alam sebagai kebutuhan yang menyeluruh.
c.       Tuntutan etis, ilmu pengetahuan dapat dipertangungjawabkan sehingga kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera dan bahagia dalam kelestarian alam lingkungan semakin nyata[14]

D.      METODE FILSAFAT ILMU DAN DASAR-DASAR PENGETAHUAN
1.   Metode Filsafat Ilmu
Sebenarnya jumlah metode filsafat hampir sama banyaknya dengan defenisi dari para ahli dan filsuf sendiri karena metode ini adalah suatu alat pendekatan untuk mencapai hakikat sesuai dengan corak pandangan filosuf itu sendiri. Penjelasan secara singkat metode-metode filsafat yang khas adalah sebagai berikut:
a.      Metode Kritis: Socrates dan Plato
Metode ini bersifat analisis istilah dan pendapat atau aturan-aturan yang dikemukakan orang. Merupakan hermeneutika, yangmenjelaskan keyakinan dan memperlihatkan pertentangan. Dengan jalan bertanya (berdialog), membedakan, membersihkan, menyisihkan dan menolak yang akhirnya ditemukan hakikat.
b.     Metode Intuitif: Plotinus dan Bergson
Dengan jalan metode intropeksi intuitif dan dengan pemakaian simbol-simbol diusahakan membersihkan intelektual (bersama dengan pencucian moral), sehingga tercapai suatu penerangan pemikiran. Sedangkan Bergson dengan jalan pembauran antara kesadaran dan proses perubahan, tercapai pemahaman langsung mengenai kenyataan.
c.      Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Squinas, Filsafat Abad Pertengahan.
Metode ini bersifat sintetis-deduktif dengan bertitik tolak dari defenisi-defenisi atau prinsip-prinsip yang jelas dengan sendirinya ditarik kesimpulan-kesimpulan.
d.     Metode Geometris: René Descartes dan pengikutnya
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks dicapai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu didedukasikan secara matematis segala pengertian lainnya.
e.      Metode Empiris:Hobbes, Locke, Berkeley, David Hume
Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide ) dalam intropeksi dibandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian di susun bersama secara geometris.
f.      Metode Transendental: Immanuel Kant dan Neo Skolastik
Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis diselidiki syarat-syarat apriori  bagi pengertian yang sedemikan rumit dan kompleks.
g.     Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme
Yakni dengan jalan beberapa pemotongan sistematis (reduction), refleksi atau fenomin dalam kesadaran mencapai penglihatan hakikat-hakikat murni. Fenomelogi adalah suatu aliran yang membicarakan tentang segala sesuatu yang menampakkan diri, atau yang membicarakan gejala.  Hakikat segala sesuatu adalah reduksi atau penyaringan dan menurut Husserl ada tiga macam reduksi yaitu:
1)          Reduksi fenomologis, kita harus menyaring pengalaman-pengalaman kita agar mendapat fenomena semurni-murninya.
2)          Reduksi eidetis
3)          Reduksi transendental
h.     Metode Dialektis: Hegel dan Mark
Dengan jalan mengikuti dinamik pikiran atau alam sendiri menurut triade tesis, antitetis, sistesis dicapai hakikat kenyataan. Dialektis itu di ungkapkan sebagai tiga langkah, yaitu dua pengertian yang bertentangan kemudian didamaikan (tesis-antitesis-sintesis).
i.       Metode Non-Positivistis
Kenyataan yang dipahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).
j.       Metode Analitika Bahasa: Wittgenstein
Dengan jalan analisa pemakaian bahasa sehari-hari ditentukan sah atau tidaknya ucapan-ucapan filosofis. Metode ini dinilai cukup netral sebab tidak sama sekali mengendalikan salah satu filsafat. Keistimewaannya adalah semua kesimpulan dan hasilnya senantiasa didasarkan kepada penelitian bahasa yang logis.[15]
2.   Dasar- Dasar Pengetahuan.
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakikatnya merupakan mahluk yang berpikir, merasa, bersikap dan bertindak. Sikap dan tindakan yang bersumber pada pengetahuan yang didapat melalui kegiatan merasa atau berpikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Penalaran mempunyai ciri, yaitu: merupakan suatu proses berpikir logis, dimana berpikir logis diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau menurut logika tertentu dan sifat analitik dari proses berpikirnya, menyandarkan diri pada suatu analisis dan kerangka berpikir yang digunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan, artinya kegiatan berpikir analisis adalah berdasarkan langkah-langka tertentu. Tidak semua kegiatan berpikir mendasarkan pada penalaran seperti perasaan dan intuisi.
Ditinjau dari hakikat usahanya, maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan yang didapatkan melalui usaha aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik secara nalar maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intusi. Kedua, pengetahuan yang didapat tidak dari kegiatan aktif menusia melainkan ditawarkan atau diberikan seperti ajaran agama. Untuk melakukan kagiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran yaitu dari rasio (paham rasionalisme) dan fakta (paham empirisme). Penalaran ilmiah pada hakikatnya merupakan gabungan penalaran deduktif (terkait dengan rasionalisme) dan induktif (terkait dengan empirisme)
Penalaran merupakan proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan dari penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan dengan suatu cara tertentu. Penarikan kesimpulan dianggap benar jika penarikan kseimpulan dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika.[16]
Menurut Bahm ada delapan hal penting yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia sehingga menghasilkan suatu pengetahuan manusia yaitu[17]:
a.        Mengamati (Observes)
Pikiran memiliki peran mengamati obyek-obyek dalam melaksanakan pengamatan terhadap obyek, pikiran haruslah mengandung kesadaran, pengamatan sering kali muncul dari rasa ketertarikan dalam obyek.
b.       Kegiatan Menyelidiki (Inqures)
Ketertarikan pada obyek membuat seseorang mau untuk mempelajari dan menyelidiki obyek tersebut. Bagaimana obyek tersebut ada dan berkembang, manfaat dan obyek tersebut minat seseorang terhadap obyek mendorong mereka mau terlibat untuk memahami dan menyelidiki obyek-obyek tersebut.

c.        Tahapan mempercayai obyek tersebut (Believes)
Setelah mereka mempelajari dan menyelidiki obyek yang muncul dalam kesadaran mereka, biasanya obyek tersebut diterima sebagai obyek yang tampak sikap percaya biasanya dilawankan dengan keraguan.
d.       Hasrat (Keinginan) dan Desires
Hasrat atau keinginan timbul dari adanya ketertarikan pada kesenangan, kehormatan, penghormatan, rasa aman dan lain-lain. Hasrat biasanya melibatkan beberapa perasaan puas dan frustasi dan berbagai respon terhadap perasaan tertentu.
e.        Maksud dan Tujuan (Intends)
Walaupun seseorang memiliki maksud ketika akan mengobservasi, menyelidiki, mempercayai dan berhasrat, namun perasaanya belum tentu mau menerima dengan segera, terkadang mereka enggan atau malas untuk melaksanakanya.
f.        Mengatur (Organizes)
Setiap pikiran adalah suatu organisme yang teratur dalam diri seseorang, pikiran mengatur melalui keadaran yang sudah jadi, disamping itu pikiran mengatur melalui panggilan untuk memunculkan obyek serta melalui pengingatan dan mendukung penampilan obyek-obyek.
g.       Proses Penyesuaian (Adaptasi)
Menyesuaikan pikiran-pikiran yang ada sekaligus melakukan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan yang tercakup dalam otak dan tubuh. Pikiran itu berasal dari fisik, biologis, lingkungan dan  kultural.
h.       Proses Menikmati (Enjoys)
Pikiran-pikiran dapat mendatangkan keasyikan, seseorang yang asyik dalam menekuni suatu persoalan, maka ia akan menikmati itu dalam pikirannya

E.      SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN
1.     Menurut paradigma filsafat Barat
Semua orang mengakui memiliki pengetauan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat? Dari situ timbul pertanyan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau darimana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang menggunakan sumber pengetahuan tersebut. Dalam hal ini ada beberapa pendapat tentang sumber pengetahuan antaralain:
a.     Idealisme
Pertama, idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat fisik hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan jiwa dan roh. Istilah idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme atau nasionalisme menitik beratkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai "alam ide", suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan yang tampak dalam wujud nyata alam inderawi bukanlah alam yang sesungguhnya.
b.     Empirisme
Paham selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, kemudian ia memiliki pengetahuan. Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995). Empirisme adalah sebuah paham yang menganggap bahwa pengetahuan manusia hanya didapatkan melalui pengamatan konkret, bukan penalaran rasional yang abstrak, apalagi pengalaman kewahyuan dan institusi yang sulit memperoleh pembenaran factual.
David Hume, salah satu tokoh empirisme mengatakanbahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, yaitu kesan-kesan (empressions) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Yang dimaksud kean-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, seperti merasakan tangan terbakar. Yang dimaksud dengan ide adalah gambaran tentang pengamatan yang samara-samar yang dihasilka dengan merenungkan kembali atau terefleksikan dalam kesan-kesan yang diterima dari pengalaman.(Amsal Baktiar; 2002)
Berdasarkan teori ini, akal hanya mengelola konsep indrawi, hal itu dilakukannya dengan menyusun konsep tersebut atau membagi-baginya.(Muhammad baqir as-Shadar;1995). Jadi dalam empirisme, sumber utamauntuk memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra. Akal tidak berfungsi banyak, kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan, antara lain:
1)     Indra terbatas, benda yang jauh kelihatan kecil, apakah ia benar-benar kecil? Ternyata tidak. Keterbatasan indralah yang menggambarkan seperti itu. Dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
2)     Indra menipu, pada yang sakit malaria gula rasanya pahit, udara akan tersa dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
3)     Objek yang menipu, contohnya fammorgana dan ilusi. Jadi obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh indra, ia membohongi indra.
4)     Berasal dari indra dan objek sekaligus. Dalam hal ini indra mata tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kernau itu juga tidak dapt memperlihatkan badanya secara keseluruhan. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indra manusia.
c.      Rasionalisme
Paradigma selanjutnya adalah Rasionalisme, sebuah aliran yang menganggap bahwa kebenaran dapat diperoleh melalui pertimbangan akal. Dalam beberapa hal, akal bahkan dianggap dapat menemukan dan memaklumkan kebenaran sekalipun belum didukung oleh fakta empiris. Faham rasionalisme dipandu oleh tokoh seperti Rene Deskrates (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Leibniz (1646-1716). Menurut kelompok ini, dalam setiap benda sebenarnya terdapat ide – ide terpendam dan proposisi - proposisi umum yang disebut proposi keniscayaan yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran yang dapat dibuktikan sebagai kebenaran dalam kesempurnaan atau keberadaan verifikasi empiris.
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap objek.
Menurut aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indra dapt dikoreksi, seandainya akal digunakan. Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indra dalammemperoleh pengetahuan. Pengalaman indra diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal dapat bekerja, etapi sampainya mausia kepada kebenaran adalah semata-mata akal. Laporan indra menurut rasionalisme merupakan bahan yang belu jelas, bahkan ini memungkinkan dipertimbangkan oleh akal dalam pengalaman berfikir. Akal mengatur bahan tersebut sehingga dapatlah terbentuk pengetahua yang benar. Jadi fungsi panca indra hanyalah untuk memperoleh data-data dari alam nyata dan akalnya menghubungkan data-data itu satu dengan yang lain.
Dalam penyusunan ini akal menggunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat universal. Yang dimaksud prinsip-prinsip universal adalah abstraksi dari benda-benda konkret, seperti hukum kuasalitas atau gambaran umum tentang kursi. Sebaliknya bagi empirisme hukum tersebut tidak diakui.(Harun nasution;1995)
Akal, selain bekerja karena ada bahan indra, juga akal dapat menghasilkan pegetahuan yang tidak berdasarkan bahan indrawi sama sekali, jadi akal juga dapat menghasilkan pengetahan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Tetapi rasionalisme juga mempunyai kelemahan, seperti mengenai criteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorag dalah jelas dan dapat dipercaya tetapi menurut orang lain tidak. Jadi masalah yang utama yang dihadpi kaum rasionalisme adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis inisemuanya bersumber pada penalaran induktif, karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak. Terbebas dari pengalaman maka evalusi yang semacam ini tidak dapat dilakukan.(Jujun S. Suriasumantri;1998).
d.     Positivisme
Adanya problem pada empirisme dan rasionalisme yang menghasilkan metode ilmiah melahirkan aliran positivisme oleh August Comte dan Immanuel Kant. August Comte berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.(Drs. Drs. H. Ahmad Syadali, M.A; 2004 :133).
Kekeliruan indera dapat dikoreksi lewat eksperimen dan eksperimen itu sendiri memerlukan ukuran-ukuran yang jelas seperti panas diukur dengan drajat panas, jauh diukur dengan meteran, dan lain sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas atau metahari panas, kita juga tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, dan tidak panas. kita memerlukan ukuran yang teliti. Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Kebenaran diperoleh dengan akal dengan didukung bukti-bukti empiris yang terukur.
Dalam hal ini Kant juga menekankan pentingnya meneliti lebih lanjut terhadap apa yang telah dihasilkan oleh indera dengan datanya dan dilanjutkan oleh akal denga melakukan penelitian yang lebih mendalam. Ia mencontohkan bagaimana kita dapat menyimpulkan kalau kuman tipus menyebabkan demam tipus tanpa penelitian yang mendalam dan eksperimen. Dari penelitian tersebut seseorang dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan sebab akibat antara kuman tipus dan demam tipus.
Pada dasarnya aliran ini (yang diuraikan oleh August Comte dan Immanuel Kant) bukanlah suatu aliran khas yang berdiri sendiri, tetapi ia hanya menyempurnakan emperisme dan rasionalisme yang bekerjasama dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.

2.     Menurut Saintis Islam
Alam ini merupakan sumber pengetahuan yang terbuka luas bagi setiap manusia. Alam yang memiliki hukum yang pasti dan konstan akan membentuk pengetahuan manusia. Karena hukum alam itulah manusia secara bertahap dapat mengendalikan alam dan mengadakan pengembangan melalui eksperimen dan riset secara berulang. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan struktur, kondisi dan kualitas alam, secara bertahap dapat dikuasai dan diatasi manusia .
Hukum alam dan Al-Qur’an bersumber dari sumber yang sama, yakni Allah SWT. Oleh karena itu, alam mempunyai kaitan erat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara kaitan tersebut, Al-Qur’an memberikan informasi tentang keadaan alam pada masa yang akan datang, yang belum bisa diramalkan oleh ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga memberikan informasi peristiwa masa lampau yang hanya diketahui oleh kalangan yang sangat terbatas. Terkadang Al-Qur’an mempertegas penemuan para ahli dan terkadang memberi isyarat untuk dilakukan penyelidikan secara akurat, Al-Qur-an juga memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk melakukan kajian atau pembahasan suatu persoalan dan memerintahkan agar mendiamkannya (tawakuf) serta menyerahkan segala urusanya kepada Allah SWT. Ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui kajian dan penelitian terhadap alam ini pada akhirnya akan menunjukkan kebesaran akan menunjukkan kebesaran Yang Maha Pencipta, yaitu Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ali’Imran ayat 190 dan 191 :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ
 وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi. Dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia ,Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Di kalangan ilmuan muslim, banyak sekali penemuan ilmuan yang orisinal (sebagai hasil eksperimen, observasi, atau penelitian) yang terus dikembangkan dan menjadi milik dunia ilmu pengetahuan modern, termasuk yang kemudian dikembangkan oleh para ilmuan barat. Para ilmuan muslim, terutama yang muncul pada masa keemasan islam (abad ke 7-13) banyak memberi kontribusi pada perkembangan sains modern, seperti bidang kimia, optika, matematika, kedokteran, fisika, astronomi, geografi, sejarah dan ilmu-ilmu lainnya.
Muhammad Thalhah Hasan mengatakan, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu adalah Allah, yang berbeda adalah proses dan cara Allah memberikan dan mengenalkan ilmu-ilmu tersebut kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya. Ada diantara ilmu-ilmu tersebut diberikan melalui insting, ada diantaranya yang diberikan melalui panca indera, ada lagi yang diperoleh melalui nalar (akal), adalagi yang ditemukan melalui pengalaman dan penelitian empirik, dan ada yang lain didapatkan melalui wahyu seperti yang didapatkan para Nabi/Rasul. Tetapi sumber dari semua ilmu itu adalah Allah, dan dari teologi inilah kemudian muncul istilah “trasendentalisasi ilmu”, yang artinya bahwa semua ilmu itu tidak dapat dilepaskan dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan dan keyakinan seperti ini akan mempengaruhi konsep dan system pendidikan islam
Kalau di Barat ilmu pengetahuan beranjak dari “premis kesangsian”, maka dikalangan agama samawi, termasuk islam, ilmu-ilmu itu bersumber dari “premis keimanan”, suatu keimanan yang memberikan keyakinan, bahwa kebenaran yang absolute itu hanya ada pada wahyu, termasuk kebenaran ijtihadi dalam upaya menafsirkan wahyu tersebut. Al-qur’an dan As-Sunah yang sahih mempunyai tingkat kebenaran absolute, tetapi ilmu-ilmu ijtihadi seperti ilmu kalam atau ilmu fiqih dan lain-lain, tingkat kebenarannya adalah relative. (Muhammada Talhah Hasan, 2006: 39)
Allahlah sumber segala ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu yang dikuasai manusia selama ini sangat terbatas dan sedikit sekali apa bila dibandingkan dengan ilmu Allah. Tuhan telah memberikan ilmu-Nya kepada manusia dan mahluk-mahluk lainnya seperti malaikat, dengan beberapa cara seperti dengan ilham, instink, indra, nalar (reason), pengalaman dan lain sebagainya. Atau dengan istilah lain, melalui penelitian dan survey, juga melalui penelitian laboratories, dan ada juga yang melalui kontemplasi/perenungan yang tajam dan melalui informasi wahyu yang diterima para Rasul Allah. Itu semua merupakan cara-cara yang digunakan oleh Allah untuk memberi ilmu pengetahuan, informasi, kemampuan nalar dan kecakapan kepada manusia, tetapi sumbernya tetaplah Allah.
Prof. DR. Cecep Sumarna mengatakan, bahwa dikalangan filosof dan saintis muslim berkembang sebuah pemikiran bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu. Bagi umat islam hal itu termanifestasi dalam bentuk Al-Qr’an dan As-Sunah. Sumber Al-Qur’an ini bukan hanya mendampingi sumber pengetahuan lain, misalnya sumber empiris yang faktual/induktif dan rasional/deduktif. Al-Qur’an bahkan dapat dianggap pemegang otoritas lahirnya ilmu. Dalam perspektif islam, alam menjadi sumber empiris pengaruh modern, adalah wahyu Tuhan juga. Ia adalah symbol terendah dari Tuhan Yang Maha Tinggi dan sekaligus Maha Qudus. (Prof. DR. Cecep Sumarna; 2008:111). Selain empiris dan rasional, sumber ilmu pengetahuan yang lain adalah intuisi dan wahyu. Melalui intuisi manusia mendapati ilmu pengetahuan secara langsung tidak melalui proses penalaran tertentu, sedangkan wahyu adalah pengetahuan yang didapati melalui “pemberian” Tuhan secara langsung kepada hamba-Nya yang terpilih yang disebut Rasul dan Nabi.
DR. Ahmad tafsir mengatakan, bahwa menurut Al-Qur’an semua pengetahuan datang dari Allah, sebagiandiwahyukan kepada orang yang dipilih-Nya, sebagian lain diperoleh manusia dengan menggunakan indra, akal, dan hatinya. Pengetahuan yang diwahyukan mempunyai kebenaran yang absolute, sedangkan pengetahuan yang diperoleh dari indra kebenarannya tidak mutlak. (DR. Ahmad tafsir; 2008: 8)
Bagi orang islam sumber pengetahuan adalah Allah, tidak ada pengetahuan selain yang datang dari Allah. Sumber pertama itu sekarang ini adalah Al-Qur’an atau hadits Rasul. Demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan tersebut tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa baru diantara keduanya itu. Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
"Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar dari pada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi". (Al-Ghazali,1961).

Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi." (Al-Ghazali,1961).

F.       PENUTUP
Filsafat ilmu dibutuhkan kehadirannya di tengah perkembangan iptek yang ditandai semakin menajamnya spesialisasi ilmu pengetahuan. Sebab dengan mempelajari filsafat ilmu, maka para ilmuwan akan menyadari keterbatasan dirinya dan tidak terperangkap ke dalam sikap arogansi intelektual. Hal yang lebih diperlukan adalah sikap keterbukaan diri di kalangan ilmuwan, sehingga mereka dapat saling menyapa dan mengarahkan seluruh potensi keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan umat manusia.
Berdasarkan paparan singkat perkembangan sejarah filsafat Barat sejak kelahirannya pada zaman Yunani Kuno sampai dengan Abad ke-20 atau samapai zaman Kontemporer, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa pemikiran filsafat Barat berkembang sebagai reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis. Reaksi terhadap mitos dan sikap dogmatis ini melahirkan pemikiran yang rasional, artinya suatu pendapat yang dimitoskan dan telah menjadi dogma yang beku dilawan, ditentang dan dikoreksi berdasarkan asumsi-asumsi ilmiah yang baru. Di sini ciri utama filsafat yang spekulatif menjadi lebih dominan, artinya ada keberanian untuk menemukan hal-hal baru, walaupun manusia pada zamannya belum dapat menerima ide-ide tersebut pada masa itu, sebagaimana halnya Copernicus, Galileo Galilei yang pandangan Heliosentrisnya belum dapat diterima oleh umat pada zamannya, namun pandangan mereka tetap diakui kebenarannya pada era-era sesudahnya.






DAFTAR PUSTAKA

Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Muntasyir, Rizal dan Munir, Misnal. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Saebani, Beni Ahmad. 2009. Filsafat Ilmu (Kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk
Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan). Bandung: Pustaka Setia
Ravertz, Jerome R. 2007. Filsafat Ilmu, Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

Sumber Internet:



Muhammad Ilham Rauf, younaitspepunm.blogspot.com/2013/02/dasar-dasar-dan-sumber-
pengetahuan.html, Diakses 11 Oktober 2014, jam 21.50 WIB.

Sutejo Ibnu Pakar, http://rajasambel90.wordpress.com/2010/05/18/lintasan-sejarah-filsafat-ilmu/ Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.30 WIB.

Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.30 WIB.

Wikipedia Bahasa Indoensia, Esklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ilmu. Diakses 11 Oktober 2014, jam 21.50 WIB.



[1] Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu. (Kencana Prenadamedia. Jakarta. 2014), Hal. 2
[2] Muhammad Ilham Rauf, younaitspepunm.blogspot.com/2013/02/dasar-dasar-dan-sumber-pengetahuan.html, Diakses 11 Oktober 2014, jam 21.50 WIB.
[3] Rizal Mustansyir dan Wisnu Munir, Filsafat Ilmu. (Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2001), Hal. 49
[4]Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu. (Pustaka Setia. Bandung. 2009), Hal. 30
[5]Wikipedia Bahasa Indoensia, Esklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_ilmu. Diakses 11 Oktober 2014, jam 21.50 WIB.
[6]Mukhtar Latif, Orientasi Ke... Hal. 45
[7]Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, Terjemahan Saut Pasaribu (Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2007) Hal. 92
[8]Jerome R. Ravertz, Filsafat ..., Hal. 92
[9]Jerome R. Ravertz, Filsafat ..., Hal. 99
[10]Sutejo Ibnu Pakar, http://rajasambel90.wordpress.com/2010/05/18/lintasan-sejarah-filsafat-ilmu/ Diakses 11 Oktober 2014, jam 22.30 WIB.
[11]Beni Ahmad Saebani, Filsafat ... Hal. 171
[12]Rizal Mustansyir dan Wisnu Munir, Filsafat ... Hal. 53

2 komentar:

Unknown mengatakan...

Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

Unknown mengatakan...

Terimakasih.. semoga tulisannya bermanfaat..
My blog

Posting Komentar