A.
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, memiliki peranan sangat penting
dalam membentuk peradaban manusia yang mulia. Sebagai agama, Islam tidak saja
hanya mengatur hubungan manusia dan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dan manusia,
hubungan manusia dan alam sekitarnya.
Al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam adalah wahyu Allah SWT yang berisikan sejarah,
hukum, dan syariat-syariat yang menuntun dan membimbing umat Islam ke jalan
yang benar, yang pada akhirnya akan memuliakan manusia itu sendiri. Al-Quran
juga membenarkan Kitab-Kitab yang Allah turunkan sebelumnya yaitu Zabur, Taurat
dan Injil.
Sebagai
kitab suci tentu saja Al-Quran merupakan sumber hukum utama bagi umat Islam
dalam menjalankan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah.
Untuk menjelaskan banyak hal yang bersifat umum dalam Al-Quran, maka Hadis
memiliki peran penting dalam menuntun dan dan mengarahkan manusia dalam
menjalankan ajaran Al-Quran.
Kata “Hadis”
secara bahasa dapat diartikan “baru” (al-jadid), yang merupakan lawan
kata dari al-qadim (lama/terdahulu). Makna ini dipahami sebagai berita
yang disandarkan kepada Nabi Saw, karena pembaruannya sebagai perimbangan
dengan berita yang terkandung dalam Al-Quran yang sifatnya qadim.[1] Dengan demikian hadis
memiliki peran yang sangat penting dan tinggi bagi umat Islam sebagai sumber
hukum atau penjelasan dari sumber hukum yang ada di Al-Quran.
Terkadang, banyak yang memahami agama
setengah-setengah, dengan dalih kembali pada ajaran Islam yang murni, yang
hanya berpegang teguh pada sunnatullah atau Al-Quran saja dan meniadakan
peranan hadis, sehingga banyak yang terjerumus pada jalan yang sesat, mereka
tidak hanya sesat melainkan juga menyesatkan yang lain. Oleh karena itu, peranan
hadis terhadap Al-Quran dalam melahirkan hukum syariat Islam tidak bisa
dikesampingkan lagi, karena tidak mungkin umat Islam memahami ajaran
Islam dengan benar jika hanya merujuk pada Al-Quran saja, melainkan harus
diimbangi dengan hadis.
Di sisi lain Imam Syafi’i telah menanamkan fondasi
epistemologis yang sangat kokoh ketika mengeluarkan kaidah fiqhiyah yang
berbunyi: iza asaha al-hadits fahuwa mazhabi, bahwa ketika “jika sebuah
hadis telah teruji kesahihannya, itulah mazhabku”. Berawal dari konteks ini
ternyata perkembangan agama (hukum) Islam tidak terlepas dari kontek kajian
hadis.[2]
B.
KEDUDUKAN HADIS DALAM ISLAM
Kedudukan hadits atau sunnah
mendekati Al-Quran. Hadis adalah berfungsi menafsirkan nashnya, menjelaskan
pengertiannya, men-takhsish yang ‘amm, men-taqyid yang muthlaq,
menjelaskan yang musykil, menjelaskan yang mubham, dan menjelaskan
hukum-hukumnya. Oleh karena itu wajib mengikutinya sebagaimana mengikuti
Al-Quran.[3] Dengan demikian sangat jelaslah
kedudukan hadis di dalam Islam sangat tinggi dan penting, terlebih lagi dalam
pengambilan hukum yang tepat yang dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam.
Imam Ahmad berkata, “mencari hukum
dalam Al-Quran haruslah melalui hadis, demikian pula halnya dengan mencari
agama. Jalan yang dibentang untuk mempelajari fiqh Islam sesuai syariat ialah
melalui hadits atau sunnah.”[4] Sebagaimana telah dikemukan bahwa
para ulama sepakat dalam menetapkan bahwa hadis berkedudukan sebagai pensyarah
dan penjelas bagi Al-Quran. Dalam hal ini Al-Quran kerap kali membawa
keterangan-keterangan yang bersifat tidak terinci dan ada juga yang bersifat
umum atau tidak dibatasi.
1.
Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan sunnah (hadis) dalam Islam
sebagai sumber hukum. Para ulama juga telah berkonsensus bahwa dasar hukum
Islam adalah Al-Quran dan sunnah (hadis). Dari segi urutan tingkatan dasar
Islam ini, sunnah (hadis) menjadi dasar hukum Islam (tasyri’iyyah) kedua
setelah Al-Quran. Hal ini dapat dimaklumi karena beberapa alasan sebagai
berikut:[5]
a. Fungsi sunnah (hadis) sebagai
penjelas terhadap Al-Quran
Sunnah
berfungsi sebagai penjelas atau tambahan terhadap Al-Quran. Tentunya pihak
penjelas diberikan peringkat kedua setelah pihak yang dijelaskan. Teks Al-Quran
sebagai pokok asal, sedangkan sunnah sebagai penjelas (tafsir) yang
dibangun karenanya. Dengan demikian segala uraian dalam sunnah berasal dari
Al-Quran.
b. Mayoritas sunnah relatif
kebenarannya.
Seluruh umat
Islam juga telah berkonsensus bahwa Al-Quran seluruhnya diriwiyatakan secara mutawatir
(para periwayat secara kolektif dalam segala tingkatan). Maka ia memberi faedah
absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian di antaranya ada yang memberi petunjuk
makna secara tegas dan pasti dan secara relatif petunjuknya. Sedangkan sunnah
(hadis), diantaranya ada yang muatawatir yang memberikan faedah absolut
kebenarannya, dan di antaranya bahkan yang mayoritas ahad (periwayatnya
secara individual) memberikan faedah relatif kebenarannya bahwa ia dari Nabi
meskipun secara umum dapat dikatakan absolut kebenarannya.
2.
Dalil-Dalil Kehujahan Hadis
Ada beberapa
dalil yang menunjukkan atas kehujahan hadis dijadikan sebagai sumber hukum
Islam, yaitu sebagai berikut:
a.
Dalil Al-Quran
Dalam
Al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah
yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti firman Allah
berikut ini:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖفَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر
ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar mengimani Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa: 59)
Selain itu banyak dalil Al-Quran yang memerintahkan
ketaatan kepada rasul dan mengikuti sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti
perintah mengikuti sunah sebagai hujah. Antara lain[6]:
1) Konsekuensi iman kepada Allah adalah
taat kepada-Nya. Sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran: 179
فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۚوَإِنْتُؤْمِنُوا
وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيم
“Karena itu berimanlah kepada Allah dan
rasul-rasul-Nya, dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang
besar”
2) Perintah iman kepada rasul beserta
iman kepada Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam surat An-Nisa: 136
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ
عَلَىٰ رَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ
الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Alllah
turunkan kepada rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya.”
3) Kewajiban taat pada rasul karena
menyambut perintah Allah. Sebagaimana perintah Allah dalam surat An-Nisa: 64
وَمَا
أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan Kami tidak mengutus seseorang
rasul, melainkan untuk ditaati seizin Allah.”
4) Perintah taat kepada rasul bersama
perintah taat kepada Allah. Sebagaimana perintah allah dalam surat Ali Imran:
32
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ ۖفَإِنْتَوَلَّوْا
فَإِنَّاللَّهَ لَايُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah: Taatilah Allah dan
rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir.”
5) Perintah taat kepada rasul secara
khusus. Sebagaimana perintah Allah dalam surat Al-Hasyr: 7
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan rasul kepadamu
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
Disamping itu, banyak juga ayat yang
mewajibkan ketaatan kepada rasul secara khusus dan terpisah karena pada
dasarnya ketaatan kepada rasul berarti ketaatan kepada Allah SWT, yaitu[7]:
1) Q.S An-Nisa (4) ayat 65 dan 80
2) Q.S Ali Imran (3) ayat 31
3) Q.S AN-Nur (24) ayat 56, 62 dan 63
4) Q.S Al-A’raf (7) ayat
158.
Selain Allah
memerintahkan agar umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan
agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya,
baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh kepada Rasul SAW
ini sama halnya dengan tuntutan taat kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Quran yang
berkenaan dengan masalah itu.[8]
b.
Dalil Hadis
Dalam salah satu pesan Rasulullah
SAW berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai pedoman hidup, di samping
Al-Quran sebagai pedoman utamanya. Beliau bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ
فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ
وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ.
(الإمام مالك)
(الإمام مالك)
“Dari Abu Hurairah r.a.,
dari Nabi SAW, bahwa Rasulullah bersabda: "Telah Aku tinggalkan pada
diri kamu sekalian dua perkara sehingga kamu tidak akan sesat selama kamu
berpegang teguh kepadanya. Yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya" (H.R.
Malik)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa
Nabi SAW diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada
keduanya, serta mengambil apa yang ada pada sunnah seperti mengambil pada
Al-Kitab. Masih banyak hadis-hadis lainnya yang menegaskan tentang kewajiban
mengiktu perintah dan tuntunan Nabi SAW.[9]
c.
Dalil Ijma Ulama
Setelah
Rasulullah wafat, para sahabat sepakat bahwa apa-apa yang berasal dari
Rasulullah, baik perbuatan, perkataan dan takrirnya dijadikan sebagai
landasan untuk menjalankan agama. Tidak seorangpun diantara mereka
menolak tentang kewajiban untuk menaati apa-apa yang datang dari Rasulullah.
Kewajiban untuk menaati sunnah rasul dikuatkan oleh dalil-dalil yang bersumber
dari Al-Quran dan Hadis. Kesepakatan para sahabat selanjutnya diikuti oleh para
tabi’in, tabi’ tabi’in dan generasi berikutnya hingga sampai saat ini.[10]
Banyak peristiwa menunjukkan adanya
kesepakatan menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam, antara lain dapat
diperhatikan peristiwa di bawah ini[11]:
1) Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi
Khalifah, ia pernah berkata “Saya tidak meninggalkan sedikit pun sesuatu yang
diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila
meninggalkan perintahnya”.
2) Saat Umar berada di depan Hajar
Aswad ia berkata “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak
melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
3) Pernah ditanyakan kepada Abdullah
bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Quran. Ibnu Umar menjawab:
“Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak
mengetahui sesuatu. Sesungguhnya kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah
SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sahalat sebagaimana
shalatnya Rasul”.
4) Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab
bahwa Usman bin ‘Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah
SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana
shalatnya Rasul”.
d.
Dalil Akal (Rasio)
Maksud dari
dalil ini adalah argumen yang disusun berdasarkan pendekatan akal untuk
menjelaskan kedudukan hadis. Hampir tidak dapat dibayangkan betapa seorang
manusia tidak akan bisa menjalankan praktik Ubudiyah maupun praktik Mu’amalah
dengan benar bila mengambil pijakan langsung dari Al-Quran tanpa
mengetahui keterangan dan penjabaran dari hadis terhadap ayat-ayat
mengenai hal-hal tersebut.[12]
Kerasulan Nabi Muhammad SAW teah
diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu,
kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah
SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan
bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan
juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai
ada nas yang menasakhnya.
C.
FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QURAN
Secara global, sunnah sejalan dengan
Al-Quran, menjelaskan yang mubham (yang tidak jelas), merinci yang mujmal
(yang umum), membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum dan menguraikan
hukum-hukum dan tujuan-tujuannya, disamping membawa hukum-hukum yang belum
dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Quran yang isinya sejalan dengan
kaidah-kaidahnya dan merupakan realisasi dari tujuan dan sasarannya.[13]
Imam
Asy-Syatibi menjelaskan beberapa fungsi hadis terhadap Al-Quran adalah 1)
memberikan tafshil, perincian, dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang
masih mujmal; 2) memberikan taqyid (persyaratan) terhadap ayat-ayat yang
masih bersifat mutlaq; 3) memberikan takhshish (penetuan
khusus) terhdap ayat-ayat yang masih bersifat umum; 4) memperkuat hukum-hukum
yang telah diterapkan Al-Quran; dan 5) menetapkan hukum-hukum yang tidak
ditetapkan dalam Al-Quran.[14]
1. Menurut ulama ahl al-ra’y
penjelasan hadis terhadap Al-Quran adalah sebagai berikut:
a.
Bayan Taqrir
b.
Bayan Tafsir
c.
Bayan Tabdil
2. Menurut Imam Malik bayan hadits itu
terbagi menjadi lima, yaitu:
a. Bayan Taqrir
b. Bayan Tawdhih (Bayan Tafsir)
c. Bayan Tafshil
d. Bayan Tabshith
e. Bayan Tasyri’
3. Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
menetapkan bahwa penjelasan hadis terhadap Al-Quran menjadi lima, yaitu:
a.
Bayan Tafshil
b.
Bayan Takhshish
c.
Bayan Ta’yin
d.
Bayan Tasyri’
e.
Bayan Nashk
4. Ahmad Ibnu Hambal sependapat dengan
gurunya Imam Asy-Syafi’i, bahkan lebih keras lagi pendiriannya. Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah menjelaskan pendapat Ahmad ibnu Hambal bahwa penjelasan Sunnah
terhadap Al-Quran terbagi empat:
a. Bayan Ta’kid (Bayan Taqrir)
b. Bayan Tafsir
c. Bayan Tasyri’
d. Bayan Takhshish dan Taqyid.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa sunnah, menurut pendapat Ahmad, dapat men-takhshish
Al-Quran, men-taqyid atau menafsirkannya. Ia juga berpendapat bahwa
sunnah dapat menafsirkan zhahir Al-Quran, dan hadits ahad
dapat men-takhshishAl-Quran. Dalam kitab Ushul al-Hadits
dikatakan bahwa ada tiga fungsi sunnah terhadap Al-Quran[16]:
1. Kalau ada persesuaian hadis dengan
Al-Quran, maka hadis berfungsi sebagai penguat apa yang ada di dalam Al-Quran,
seperti hadis tentang perintah shalat, zakat, keharaman riba dan sebagainya.
2. Kalau ia berfungsi menjelaskan dan
menafsirkan yang mujmal di dalam Al-Quran, maka hadis menjelaskan
maksudnya, seperti penjelasan tata cara shalat, jumlah rakaatnya dan waktu
pelaksanaanya. Al-Quran hanya menyebutkan waktu-waktunya secara umum, dan
hadislah yang menjelaskan tatacara pelaksanaanya.
3. Rasulullah menetapkan suatu hukum
yang belum ada ketentuan nash-nya di dalam Al-Quran, seperti keharaman
memakan keledai kampung.
Dari banyak perbedaan pendapat para
ulama terpercaya tentang penjelasan hadis terhadap Al-Quran, berikut diambil
dan dijelaskan secara singkat beberapa diantaranya:
1.
Hadis sebagai Bayan Tafshil
Yang di maksud dengan bayan tasfsil
di sini adalah bahwa hadits itu menjelaskan atau memperinci kemujmalan
Al-Quran. Karena Al-Quran bersifat mujmal (global), maka agar ia dapat berlaku
sepanjang masa dan dalam keadaan bagaimanapun diperlakukan perincian. Maka dari
itu diperlukan adanya hadis atau sunnah.[17]
Dalam
kedudukannya sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, hadis berfungsi sebagai
pemerinci atau penafsir hal-hal yang masih disebutkan secara mujmal oleh
Al-Quran. Mujmal dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang belum jelas
dilalahnya atau masih bersifat umum dalam penunjukannya. Dengan hadis
diharapkan dapat diketahui dengan jelas maksud dan penunjukannya.
Dalam
Al-Quran ada perintah melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, mengerjakan
ibadah haji. Namun teknik operasional tidak dijumpai didalam Al-Quran, teknik
pelaksanaan tersebut dijelaskan di dalam hadis.
2.
Hadis sebagai Bayan Takhshish
Dalam hal
ini hadis bertindak sebagai penjelas tentang kekhususan ayat-ayat yang masih
bersifat umum. ‘Amm dalam pengertian ini adalah suatu lafaz yang
menunjukkan suatu makna yang mencakup seluruh satuan makna yang tidak terbatas
dalam satuan tertentu. Dengan kata lain, semua lafaz yang mencakup semua makna
yang pantasdengan suatu ucapan saja. Misalnya lafaz al-Muslimun
(orang-orang Islam), al-rijal (anak-anak laki-lakimu), dan lain-lain.[18]
Misalnya, terkait informasi Al-Quran
tentang ketentuan anak laki-laki yang dapat mewarisi orang tua dari
keluarganya, di dalam Al-Quran dijelaskan sebagai berikut: “Allah telah
mewasiatkan kepadamu tentang bagian anak-anakmu, yakni untuk laki-laki sama
dengan dua bagian untuk anak perempuan”. (Q.S. An-Nisa: 11). Ayat ini tidak
menjelaskan syarat-syarat untuk dapat saling mewarisi antara keluarga.
Selanjutnya hal itu dijelaskan oleh hadis yang menerangkan tentang persyaratan
khusus tentang kebisaan saling mewarisi tersebut, antara lain tidak berlainan
agama dan tidak ada tindakan pembunuhan di antara mereka.
3.
Hadis Sebagai Bayan Taqyid
Bayan taqyid adalah penjelasan
terhadap Al-Qur’an dengan cara membatasi ayat-ayat yang bersifat mutlak dengan
keadaan, sifat dan syarat tertentu. Istilah mutlak maksudnya adalah hakikat
dari suatu ayat yang hanya berorientasi pada dhohirnya tanpa memiliki limitasi
yang dapat membuat pagar hukum yang sistematis.[19] Adapun contoh hadits yang memiliki
pembatasan hukum adalah:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم : ( لَا تُقْطَعُ يَدُ سَارِقٍ إِلَّا فِي رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَاللَّفْظُ لِمُسْلِم ٍ.
وَلَفْظُ اَلْبُخَارِيِّ: تُقْطَعُ اَلْيَدُ فِي
رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا وَفِي رِوَايَةٍ لِأَحْمَدَ اِقْطَعُوا فِي
رُبُعِ دِينَارٍ, وَلَا تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Dari 'Aisyah bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak boleh dipotong tangan seorang pencuri, kecuali sebesar seperempat
dinar atau lebih." Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
Menurut Lafadz Bukhari: "Tangan seorang pencuri dipotong (jika mengambil
sebesar seperempat dinar atau lebih." Menurut riwayat Ahmad:
"Potonglah jika mengambil seperempat dinar dan jangan memotong jika
mengambil lebih kurang daripada itu”.[20]
Hadits di
atas dalam prakteknya yaitu membatasi hukuman pencuri yang secara hukum tetap
ia dipotong tangannya sebagaimana dijelaskan secara mutlak dalam ayat:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. Al-Maidah (5) ayat 38).
Ayat ini
menjelaskan tentang hukum mutlak potong tangan bagi pencuri laki-laki dan
perempuan tanpa ada suatu pembatas takaran curiannya. Ayat ini mengobligasikan
potong tangan secara mutlak. Maka, kemudian hadis datang untuk membatasi hukum
bahwa yang dikenakan potongan tangan adalah bagi mereka yang mencuri seperempat
dinar atau lebih.
4.
Hadis sebagai Bayan Ta’kid
Hadis berfungsi juga sebagai penguat
hukum-hukum yang ada di dalam Al-Quran. Suatu ketetapan hukum tentang suatu
masalah memiliki dua sumber atau argumentasi, yakni Al-Quran dan Sunnah. Selain
itu sunnah dalam konteks ini melengkapi sebagian cabang-cabang hukum yang
berasal dari Al-Quran.[21]
Dalam
Al-Quran banyak ayat yang saling menguatkan dengan sunnah. Misalnya ayat
Al-Quran tentang puasa Ramadhan, Allah berfirman:
“Bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan AL-Quran sebagi petunjuk bagi
manusia dan sebagai penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka
hendaklah dia berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah: 15).
Ayat ini
dikuatkan oleh hadis Nabi yang berbunyi: “Berpuasalah kamu setelah melihat
bulan itu dan berbukalah setelah melihat bulan juga” (H.R. Bukhari-Muslim)
5.
Hadis sebagai Bayan Tasyri’
Bayan tasyri’ adalah penjelasan hadis Nabi yang
mendefenisikan suatu ketetapan hukum secara independen yang tidak didapati
dalam nash-nash Al-Quran secara tekstual. Penjelasan itu muncul dengan
sebab adanya permasalahan-permasalahan yang timbul di antara masyarakat. Di
sinilah hadis Nabi mengeluarkan penjelasan dan sekaligus keputusan dengan tidak
berorientsi terhadap Al-Quran namun tetap ada bimbingan langsung dari sang
pemilik semesta, Allah SWT[22]. Misalnya hadits Nabi:
و حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ
أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنرَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ
وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ
الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا
“Tidak boleh menikahi seorang perempuan
bersamaan dengan bibinya dari pihak bapak & tak boleh menikahi perempuan
bersamaan dengan bibinya dari pihak ibunya”. (HR. Malik No.977)[23]
Hadits di atas
menjelaskan bahwa seseorang dilarang mempoligami perempuan bersamaan dengan
bibinya. Disini Nabi memutuskan suatu hukum akan larangan itu. Dalam Al-Quran
tidak ada sebuah ayat tersurat tentang larangan mengawini perempuan bersamaan
dengan bibinya baik dari arah ayah maupun ibu. Hanya ada dalam Al-Quran
keterangan-keterangan tentang dilarangnya menikahi perempuan beserta
kelurganya, seperti ibu, saudara, anak dan sebagainya. Disinilah hadis
mejelaskan haramnya menikahi bibi perempuan yang dinikahi tanpa berorientasi
terhadap Al-Quran dalam membuat keputusan itu.
Imam Syafi’i
berpendapat bahwa apa yang telah disunnahkan oleh Rasulullah SAW tidak terdapat
dalam kitabullah, maka hal itu merupakan hukum Allah juga, sebagaimana Allah
berfirman:
“Sesungguhnya
kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, yaitu jalan Allah
yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S.
Al-Syura: 52)[24]
D.
PENUTUP
Al-Quran
memang merupakan pedoman umat Islam yang utama, namun isi dan redaksi dari
Al-Quran itu sendiri masih sangat bersifat global (mujmal). Maka dari
itu kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah menjelaskan ayat-ayat
Al-Quran yang masih global. Rasulullah diperintahkan untuk menjelaskan
tiap-tiap ajaran kepada para sahabat setelah beliau mendapatkan penjelasan dari
Jibril.
Peran kedua
adalah agar hadis menjadi pedoman ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak
secara spesifik terdapat dalam Al-Quran. Setelah masa Rasulullah SAW. Al-Quran
dan Hadis dijadikan sebagai rujukan para ulama untuk mengeluarkan fatwa dan
aturan lainya. Karena tidak menutup kemungkinan perseteruan akan terjadi di
masa yang akan datang berhubungan dengan hukum dalam Al-Quran.
Peran yang
ketiga, menjaga agar ayat-ayat Al-Quran tidak secara sembarangan dilencengkan
sehingga seolah ayat-ayat Al-Quran berkontradiksi. Penjelasan Rasulullah sudah
merupakan penjelasan yang dapat dipahami bahwa juga telah ditafsirkan mendalam
oleh para ulama.
Rasulullah yang bergelar uswatun
hasanah segala ucapan dan kepribaianya adalah pencitraan dari Al-Quran.
Sehingga umat Islam yang mengikuti hadis-hadis Rasulullah adalah mereka yang
juga taat kepada Al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Solehudin, M dan Suyadi, Agus.
2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Khon, Abdul Majid. 2009. Ulumul
Hadis. Jakarta: Bumi Aksara
Noer Sulaiman, M. 2008. Antologi
Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu
Hadis. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Supian, Aan. 2014. Ulumul Hadis.
Bogor: IPB Press
Sumber Internet:
Ahmad Agus Tijani. http://tijaniagus.blogspot.com/2012/11/fungsi-hadits-terhadap-al-quran-di.html/ . Diakses tanggal 15 Oktober 2014
jam 15.33 WIB.
Akhmad Suseta, http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-alquran.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2014
jam 16.32 WIB.
Awan Al-Faiz, http://awanaalfaizy.blogspot.com/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-dalam-agama_2.html,. Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 10.28
Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H /
2008 M Oleh : Pustaka Al-Hidayah, Hadis No. 1255. http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/source/10.%20Kitab%20Hukuman/3.%20Bab%20Hukum%20Pencurian.htmDiakses tanggal 15 Oktober 2014 jam
16.32 WIB
http://pipa-biru.blogspot.com/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html. Diakses tanggal 15 Oktober 2014
jam 13.44
Mutiara Hadis. http://www.mutiarahadits.com/25/51/76/wanita-yang-tak-boleh-dipoligami-bersama.htm.. Diak
[1]Aan
Supian. Ulumul Hadits. (Bogor: IPB Press 2014). h. 1
[2]Awan Al-Faiz, http://awanaalfaizy.blogspot.com/2012/11/kedudukan-dan-fungsi-hadits-dalam-agama_2.html,.
Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 10.28 WIB
[3]M.
Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. (Jakarta: Gaung Persada Press
2008). h. 37
[4]M.
Noor Sulaiman. Antologi ...h. 37
[5]Abdul
Majid Khon. Ulumul Hadis. Cetakan Ke-3 (Jakarta: Bumi Aksara 2009). h.
22
[6]http://pipa-biru.blogspot.com/2014/01/kedudukan-hadist-sebagai-sumber-hukum.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 13.44
[7]M.
Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul Haidis. (Bandung: Pustakan Setia
2008). h. 75
[8]Munzier
Suparta. Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Gradindo Persada 2008). h. 51
[9]M.
Agus Solahudin dan Agus Suyadi. Ulumul ... h. 77
[10]Aan
Supian. Ulumul ... h. 29
[11]Munzier
Suparta. Ilmu ... h. 57
[12]Aan
Supian. Ulumul ... h. 30
[13]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 36
[14]Aan Supian. Ulumul ... h. 30
[15]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 38
[16]M. Noor Sulaiman. Antologi ...h. 41
[17]Ahmad Agus Tijani. http://tijaniagus.blogspot.com/2012/11/fungsi-hadits-terhadap-al-quran-di.html/
. Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 15.33 WIB.
[18]Aan Supian. Ulumul ... h. 31
[19]Akhmad Suseta, http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-alquran.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 16.32 WIB.
[20]Bulughul Maram versi 2.0 © 1429 H / 2008 M Oleh : Pustaka
Al-Hidayah, Hadis No. 1255. http://alquran-sunnah.com/kitab/bulughul-maram/source/10.%20Kitab%20Hukuman/3.%20Bab%20Hukum%20Pencurian.htmDiakses
tanggal 15 Oktober 2014 jam 16.32 WIB.
[21]Aan Supian. Ulumul ... h. 32
[22]Akhmad Suseta, http://akhmadsuseta.blogspot.com/2012/05/fungsi-hadits-terhadap-alquran.html.
Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 16.32 WIB..
[23]Mutiara Hadis. http://www.mutiarahadits.com/25/51/76/wanita-yang-tak-boleh-dipoligami-bersama.htm..
Diakses tanggal 15 Oktober 2014 jam 16.32 WIB..
[24]Aan Supian. Ulumul ... h. 33
0 komentar:
Posting Komentar